Murwati Widiani
Sebuah
Cerita
Suatu saat saya
berkunjung ke sebuah sekolah, sebut saja SMP A. Kebetulan saat itu jam istirahat.
Dari luar pagar saya melihat banyak siswa sedang bermain basket dan banyak pula
yang sedang duduk-duduk santai. Pintu gerbang yang akan saya masuki hanya
terbuka separuh sehingga tidak cukup untuk masuk kendaraan. Saya sengaja
menunggu beberapa saat, berharap ada satu atau dua orang siswa yang berbaik
hati untuk membukakan pintu. Beberapa menit saya tunggu, ternyata tidak seorang
pun yang beranjak. Akhirnya, saya turun, mendorong gerbang sendiri di hadapan
anak-anak yang hanya melihat.
Sementara, sebelumnya
saya pernah mengalami hal serupa di sekolah lain, sebut saja SMP B. Namun, ada
perbedaan respon siswa yang saya dapatkan. Sebelum saya turun, ada beberapa siswa
yang menghentikan kegiatan olahraganya dan berlari ke arah gerbang, kemudian membukakan
pintu sambil tersenyum. Saya membalasnya dengan senyuman dan ucapan terima
kasih.
Dari dua peristiwa
tersebut, ada pertanyaan yang muncul di benak saya, “Mengapa berbeda?” Padahal,
dilihat dari lokasi sekolah dan latar belakang siswanya tidak berbeda. Apakah
hanya kebetulan? Saya kira ini bukan kebetulan. Ada sesuatu yang harus dirunut
untuk menemukan akar penyebabnya. Begitulah, saya kemudian menceritakan
pengalaman yang baru saja saya temui di SMP A pada guru-guru sekolah tersebut
sebagai bahan sharing. Saya mulai
mengatakan bahwa ini adalah “PR besar” bagi kita semua, saya selaku pengawas,
dan Bapak Ibu selaku pendidik. Saya ajak bapak ibu guru berdiskusi untuk
menjawab “Mengapa bisa seperti itu?” dan mencari beberapa hal yang dapat dilakukan
agar para siswa di sekolah kita memiliki “perilaku peduli pada orang lain”.
Dari situlah kemudian semua bersepakat untuk membuat kesimpulan bahwa menanamkan
sikap peduli pada diri siswa bukan merupakan hal yang mudah.
Potret
Buram di Album Sekolah
Ilustrasi awal yang
tergambar hanyalah potret kecil dari sekian album yang sering terjadi di
sekolah. Potret buram lainnya terkait dengan sikap peduli sosial adalah “lupa
berterima kasih”, tidak suka meminta maaf jika bersalah, dan tidak suka
menolong orang lain. Adapun potret buram terkait dengan sikap peduli lingkungan
antara lain kurang menyayangi dan menjaga tanaman; membuang sampah tidak pada
tempatnya; corat-coret tembok, bangku, meja, dan fasilitas sekolah lainnya. Mari
kita lihat satu per satu untuk menemukan solusi pemecahannya.
Lupa
Berterima Kasih
Dalam kegiatan Olimpiade
Sains Nasional (OSN), sebuah acara perhelatan ilmiah pelajar, saya
berkesempatan menjadi pengawas bersama seorang rekan di salah satu ruang
berkapasitas 40 peserta lomba. Setelah memimpin doa, membacakan tata tertib,
saya mulai membagikan soal dan lembar jawab. Di antara 40 peserta, ada 4 siswa
yang mengucapkan terima kasih. Sejumlah 36 siswa lainnya tidak mengucapkan
apa-apa. Saya kemudian berbisik pada rekan saya, “Ingin tahu manakah siswa SMA
X?” “Gimana?”, tanya rekan saya. “Mudah. Yang mengucapkan terima kasih itulah
siswa SMA X.” Kenyataan, keempat peserta OSN yang mengucapkan terima kasih
memang berasal dari sekolah yang sama, sebuah sekolah swasta terkemuka di Jalan
Laksda Adisucipto.
Boleh dikatakan,
sebagian besar siswa lupa berterima kasih ketika diberi kebaikan. Jangankan
diberi soal, ketika ada petugas yang membagikan snek pun, mereka lupa
mengucapkan terima kasih. “Mengapa
spontanitas kebanyakan siswa berbagai sekolah berbeda dengan siswa SMA X?” Ini
adalah wacana menarik yang perlu dikaji asal muasalnya. Saya sendiri sudah lama
tahu, jauh sebelum pendidikan karakter dijadikan muatan wajib di sekolah
seperti sekarang ini, bahwa siswa-siswa di sana memang terbiasa mengucapkan
terima kasih ketika kebaikan termasuk menerima soal pada saat Ujian Nasional.
Karenanya, para pengawas UN yang berasal dari sekolah lain selalu merasa kagum.
Pernah saya berbincang dengan Bapak St. Kartono, salah seorang guru di SMA yang
para siswanya “pandai berterima kasih” itu. Ketika saya tanya, “Bagaimana
caranya?” beliau menjawab, “Prosesnya cukup lama. Di kelas awal (X) saya masih
sering membentak ketika anak-anak lupa berterima kasih, ‘punya mulut tidak?’, ‘Bisa
ngomong terima kasih tidak?’, jawab
beliau. Itu adalah wujud peran dan tanggung jawab seorang guru untuk menanamkan
salah satu nilai karakter. Manakala siswanya lupa, guru haruslah mengingatkan
dengan tegas dan mengenai sasaran. Efek dari teguran sang guru dengan kalimat
semacam itu, tentu akan memunculkan rasa jera sehingga berusaha tidak
mengulangi kesalahan serupa.
Selain dengan teguran,
membiasakan berterima kasih harus dimulai dengan keteladanan. Para guru tidak
cukup menuntut siswanya mengucap terima kasih ketika diberi kebaikan sekecil
apa pun, namun harus dimulai dari gurunya. Mari kita melakukan refleksi diri,
benarkah para guru di sekolah sudah terlebih dahulu mengucapkan terima kasih,
khususnya pada siswa? Misalnya ketika para siswanya sudah belajar dengan baik,
mengumpulkan tugas tepat waktu, memperhatikan guru, atau kebaikan lain yang
tampaknya memang sudah sewajarnya? Jika kita (guru) sudah melakukannya, niscaya
tanpa banyak nasihat pun mereka akan terbiasa mengucapkan terima kasih. Benar
kata Rosihan Anwar, “semua berawal dari keteladanan”.
Sudaryanto (2011),
seorang penulis muda yang terinspirasi menulis karena kisah dalam OSN yang
pernah saya ceritakan menyimpulkan, “Bila orang tua biasa berucap terima kasih, anak secara alamiah akan mengikutinya.
Sebaliknya, jika orang tua enggan berucap terima kasih, anak akan mengikutinya
juga. Demikian pula guru di lingkup persekolahan. Pendek kata, keteladanan
menjadi faktor dominan dalam pembentukan karakter seorang anak.”
Tidak
Suka Minta Maaf Ketika Melakukan Kesalahan
Potret buram berikutnya
adalah tidak suka minta maaf jika melakukan kesalahan. Kita sering menegur
siswa yang memakai pakaian kurang rapi, bertanya mengapa terlambat, atau
mengapa tidak mengerjakan PR. Semua yang dilakukan siswa adalah kesalahan,
namun amat jarang siswa yang meminta maaf secara spontan. Yang mereka lakukan
ketika terlambat atau tidak mengerjakan tugas adalah terburu-buru menyampaikan
berbagai alasan untuk menutupi kesalahannya.
Pernah ketika kuliah di
IKIP (sekarang UNY), di fakultas saya ada seorang dosen yang sangat antipati
pada mahasiswa yang tidak meminta maaf ketika datang terlambat. Bahkan beliau
akan membentak mahasiswa yang cara meminta izinnya keliru, misalnya, “Saya
terlambat Pak”. Spontan beliau akan menjawab, “Sudah tahu, saya tidak buta.”
Mahasiswa yang peka akan belajar dari tegurannya dan menyimpulkan bahwa hal
pertama yang harus diucapkan ketika kita terlambat adalah “meminta maaf”.
Lalu, mengapa para
siswa agak sulit meminta maaf jika melakukan kesalahan? Sebagai guru, kita
wajib berwas-was. Jangan jangan karena gurunya juga jarang meminta maaf di
hadapan para siswa. Contoh konkret, kita dapat bertanya pada diri sendiri,
apakah guru meminta maaf ketika terlambat masuk kelas? Sudahkah guru meminta
maaf ketika belum sempat mengoreksi dan mengembalikan pekerjaan siswa? Atau
ketika salah atau kurang jelas dalam menjelaskan suatu konsep?
Mungkin sebagian orang
menganggap meminta maaf di hadapan siswa akan menurunkan kewibawaan. Pandangan
semacam itu merupakan pandangan yang sangat keliru. Justru ketika seseorang
mengakui kesalahan dan meminta maaf, keluhurannya akan tampak, jiwa ksatria
akan terlihat. Tentu saja permintaan maaf haruslah disertai dengan kesungguhan
untuk tidak mengulangi lagi kesalahan yang sama. Dengan demikian, sebenarnya
pengakuan salah dan permintaan maaf dapat dijadikan cemeti diri bagi seseorang.
Tidak
Suka Menolong Orang Lain
Cerita di awal tulisan
ini merupakan bukti nyata dari sikap tidak suka menolong orang lain atau kurang
peduli sosial. Budaya individualis memang sudah merambah di kalangan anak
bangsa. Kebiasaan kebanyakan anak sekarang yang sering sibuk dengan dunianya
sendiri, terlalu sering bergelut dengan teknologi modern (HP, komputer dan
internet) telah membuat anak kurang bersosialisasi. Dari kondisi ini,
terbentuklah sikap “cuek” dan tidak peduli.
Sering kita lihat
banyak orang (juga siswa) berkumpul di suatu tempat dalam acara arisan, rapat,
atau keakraban, tetapi justru sibuk dengan dunianya masing-masing. Dengan HP di
tangannya, mereka sibuk berkirim dan membalas SMS, membuka facebook, bermain game,
atau “ngenet”. Inilah dampak dari
teknologi canggih yang kini menjajah sebagian besar anak bangsa. Kebiasaan yang
telah membentuk orang menjadi egois, individualis, dan “cuek”.
Jika
dibiarkan, kita akan memiliki generasi yang kurang peduli, kurang peka, dan
kurang bisa bekerja sama dalam tim. Gurulah yang harus membiasakan anak tidak
bersifat individualis. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran, guru
haruslah mengembangkan sikap kerja
sama melalui learning community
dengan menerapkan metode yang kooperatif dan kolaboratif. Dalam
Permendiknas nomor 41 tahun 2007 tentang standar proses disebutkan: “proses
pembelajaran harus interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang
yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta
psikologis peserta didik.” Pembelajaran
yang interaktif dapat dimaknai pembelajaran yang memunculkan adanya interaksi
antara siswa dan guru, siswa dan siswa, serta siswa dengan sumber belajar
lainnya. Melalui pembelajaran interaktif, kemampuan afektif siswa berupa
kemampuan kerja sama akan terwujud.
Selain itu, BUDAYA 3-S (Senyum, Sapa, Salam) yang kini
terpampang di hampir semua sekolah, jika diamalkan benar juga akan dapat
mengurangi kebiasaan “cuek”. Untuk
mengamalkan slogan tersebut tentu harus dipelopori kepala sekolah, guru, dan
juga tenaga kependidikan. Biasakan berada di sekolah sebelum para siswa datang.
Berdirilah di gerbang sekolah untuk menyambut kedatangan siswa. Salami mereka,
sapa dengan pertanyaan-pertanyaan ringan, tepuk bahunya sambil memberi sedikit
nasihat. Jika hal itu terus dilakukan, kedekatan antara siswa dan guru/tendik
akan lebih terjalin. Begitu pula sikap ramah dan peduli sosial pada siswa akan
bertambah.
Kurang Peduli
Lingkungan
Sering kita melihat siswa kurang peduli terhadap
lingkungan, suka membuang sampah tidak pada tempatnya, merusak lingkungan
dengan corat-coret di tembok, meja, bangku dan fasilitas sekolah lainnya. Apa
sebenarnya yang menyebabkan mereka berbuat demikian? Kekurangpedulian terhadap
lingkungan memang merupakan kebiasaan yang sudah hampir membudaya di negeri
ini. Tidak terbatas hanya di sekolah, lihat saja banyak orang dengan sangat
biasa membuang puntung rokok atau bungkus permen di mana pun mereka berada.
Mereka tidak pernah berpikir perbuatannya akan mengotori lingkungan atau
mengganggu kenyamanan orang.
Untuk menyikapi perilaku kurang peduli lingkungan yang
sudah membudaya, sekolah dapat dijadikan laboratorium untuk mengubah sedikit
demi sedikit agar menjadi lebih peduli lingkungan.
Seperti dikemukakan
Nana Supriatna, http://karakter-smkn2depoksleman.org,
Sebagai laboratorium pendidikan karakter, sekolah dapat menjadi contoh
pembentukan karakter peduli pada lingkungan. Hal itu juga relevan dengan
semangat green living, ecoliving,
ecocity, dan lain-lain yang kini menjadi jargon dalam gerakan hijau untuk
menangkal pemanasan global (global -warming)
serta semakin terbatasnya sumber daya alam akibat eksploitasi yang berlebihan
guna memenuhi kebutuhan konsumen. Sebagai contoh, sekolah yang memiliki halaman
yang sempit atau luas yang ditanami oleh rumput, taman hijau serta pohon
pelindung, memiliki ruang-ruang kelas dengan jendela terbuka dan tanpa mesin
pendingin (AC) merupakan tempat yang baik untuk mengondisikan siswa membentuk
karakter peduli lingkungan dan peduli sosial. Kebijakan kepala sekolah yang
meminta para siswa yang bertempat tinggal dekat dengan sekolah untuk berjalan
kaki pulang dan pergi serta menggunakan sepeda bagi mereka yang bertempat
tinggal agak jauh merupakan kebijakan yang baik untuk menghemat penggunaan
bahan bakar yang semakin terbatas. Sebaliknya, sekolah yang mengganti halaman
rumput dengan lapangan semen untuk upacara dan tempat parkir, mengganti pohon
dan pagar tanaman dengan gerbang sekolah dari beton, menciptakan ruang kelas
tertutup dengan penerangan listrik dan berpendingin (AC), merupakan kebijakan
yang tidak relevan dengan pendidikan karakter peduli lingkungan.
Untuk membentuk sekolah
hijau, bersih, dan nyaman perlu adanya gerakan yang harus dilaksanakan secara
rutin, gerakan spontan, ataupun keteladanan terkait dengan sikap peduli
lingkungan. Berikut ini saya kutipkan program kegiatan rutin untuk pembentukan
karakter peduli lingkungan di SMA Negeri 4 Balikpapan dalam buku Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter
(Berdasarkan Pengalaman di Satuan Pendidikan Rintisan) (2011:47).
KEGIATAN RUTIN PEDULI
LINGKUNGAN
Lingkungan sekolah
bersih
•
Membiasakan
anak untuk membuang sampah pada tempatnya.
•
Setiap
jam terakhir atau pukul 14.00 siswa
melakukan kebersihan dan memungut sampah di sekitar kelasnya didampingi guru
yang mengajar jam terakhir. Siswa membuang sampah kelas ke TPS.
•
Setiap
hari Jumat minggu kedua dan keempat
pukul 07.15 – 08.00 seluruh warga sekolah
melakukan Jumat Bersih.
•
Petugas
kebersihan sekolah memungut sampah
yang ada di tempat sampah, di kantor dan di luar jangkauan siswa setelah
istirahat kedua dan langsung dibuang
ke TPS SMA Negeri 4 Balikpapan.
•
Guru
melaksanakan piket secara berkelompok untuk melihat kebersihan lingkungan.
•
Mengambil
sampah yang berserakan.
Kelas Bersih
•
Piket
kelas secara kelompok membersihkan kelasnya, strategi setelah pulang sekolah sesuai daftar piket.
•
Siswa
secara individu menata bangku dan kursi setiap hari supaya terlihat
rapi.
•
Siswa
menata bangku dan kursi secara individu setelah pulang sekolah.
•
Melakukan
pengamatan kebersihan lingkungan oleh penanggung jawab lingkungan (kriterianya ditetapkan sekolah),
dilakukan setiap minggu dan diumumkan pada saat upacara hari Senin. Kelas bersih akan diberi
penghargaan berupa bendera hijau, dan
kelas kotor diberikan sanksi bendera merah. Kelas yang lain dianggap agak
besih.
•
Tidak
mencoret tembok atau bangku/kursi/fasilitas sekolah. Bagi yang mencoret
diberi sanksi membersihkan atau mengecat ulang.
|
Penanaman sikap peduli
lingkungan pun tak lepas dari unsur keteladanan. Kepala sekolah, guru, dan
tenaga kependidikan haruslah memberi contoh berperilaku bersih dan peduli pada
lingkungan. Saya pernah bersekolah di SPG Negeri Purwokerto yang kepala
sekolahnya sangat peduli lingkungan. Orang akan benar-benar memberi label
“Sekolah Hijau” karena berhalaman rumput, lorong sekolah penuh dengan pot
tanaman yang terawat, banyak pohon perindang, dan banyak tempat sampah. Tidak hanya
itu, Bapak Umar Said, begitu namanya, selalu memberi keteladanan tanpa banyak
nasihat. Pernah suatu ketika, teman saya membuang bungkus permen di lantai. Pak
Umar yang kebetulan lewat dan melihat langsung membungkukkan badannya, memungut
sampah yang dibuang teman saya, lalu membuangnya di kotak sampah. Saat itu saya
benar-benar mendapatkan pelajaran penting yang masih saya ingat sampai
sekarang, yakni “tidak boleh membuang sampah sembarangan”.
Kebiasaan membuang
sampah sembarangan memang cukup sulit untuk diubah. Hal ini, dipicu oleh tidak
adanya hukuman atau sanksi terhadap orang yang membuang sampah sembarangan. Selain
itu, disebabkan juga karena tidak ada fasilitas tempat sampah yang memadai. Berbeda
dengan negara yang sudah maju, Jepang misalnya. Fasilitas kebersihan di Jepang
sangat memadai. Di berbagai tempat umum selalu kita temukan tempat-tempat
sampah khusus dengan petunjuk yang mudah dibaca. Misalnya, khusus untuk botol,
koran/kertas, sampah lain, dan rokok serta abu rokok. Tempat-tempat sampah
tersebut tidak pernah tampak penuh apalagi sampai menggunung. Petugas
kebersihan selalu mengambil sampah-sampah tepat waktu. Selain itu hukum yang
selalu ditegakkan di Jepang juga membuat masyarakat tidak mau melanggarnya.
Misalnya huhuman bagi orang yang merokok sambil berjalan dengan denda sebesar
30.000 yen pada tahun 2003 (sekitar Rp 2.100.000,00). Demikian pula hukuman
bagi orang yang membuang sampah sembarangan atau mengotori tempat umum lainnya
selalu diterapkan sesuai dengan ketentuan.
Jika sekolah berhasil
berperan sebagai laboratorium pendidikan karakter peduli lingkungan, diharapkan
para siswa juga akan menerapkannya di rumah dan di masyarakat. Hal pertama yang
sederhana, sekolah harus mencukupkan fasilitas kebersihan seperti sapu, serok,
tempat sampah yang lengkap, dan sarana air. Hal penting yang harus diperhatikan
sekolah adalah kamar kecil atau toilet. Pernah ada orang mengatakan bahwa jika
ingin melihat karakter bersih dari penghuni sebuah rumah atau sekolah, lihatlah
toiletnya.
Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pada puncak peringatan Hardiknas di Istana Negara (Selasa, 11 Mei
2010) mengutarakan:
”…Saudara-saudara,
kalau saya berkunjung ke SD, SMP, Saudara sering mendampingi saya, sebelum saya
dipresentasikan sesuatu yang jauh, yang maju, yang membanggakan, Saya lihat
kamar mandi dan WC-nya bersih tidak, bau tidak, airnya ada tidak. Ada nggak
tumbuhan supaya tidak kerontang di situ. Kebersihan secara umum, ketertiban
secara umum. Sebab kalau anak kita TK, SD, SMP selama 10 tahun lebih tiap hari
berada dalam lingkungan yang bersih, lingkungan yang tertib, lingkungan yang
teratur itu ada values creation. Ada character building dari segi itu. Jadi
bisa kita lakukan semuanya itu dengan sebaik-baiknya….” (Puskurbuk,
2011:8).
Kata
Penutup
Begitulah potret buram
di sekolah yang terkait dengan karakter peduli sosial dan peduli lingkungan.
Jika diupayakan dengan berbagai aksi, program kegiatan, teguran, dan
keteladanan, niscaya potret buram itu akan terhapus. Penanaman sikap peduli
sosial dan peduli lingkungan bukan hanya tanggung jawab guru PKn, guru agama,
atau guru IPA, melainkan juga tanggung jawab semua guru dan tenaga kependidikan
yang ada di sekolah. Secara umum, semua guru sebagaimana yang sudah dilakukan
adalah mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam perencanaan pembelajaran
atau memasukkannya ke dalam silabus dan RPP. Namun, tidaklah cukup atau penting
jika dalam implementasi masih miskin dengan tindakan nyata. Meminjam kalimat
yang ditulis Sudaryanto, “pendidikan karakter itu nyata” bukan teoretis. Jadi,
keteladanan, tindakan nyata akan lebih baik daripada seribu nasihat.
Bahan
Bacaan
Depdiknas. (2007). Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang
Standar Proses. Jakarta.
Murwati Widiani. “Kota Bersih Tanpa Slogan Kebersihan - Sebuah Catatan
Perjalanan ke Jepang” dalam Kedaulatan
Rakyat, 19 Oktober 2003. Yogyakarta.
Nana Supriatna. “Sekolah sebagai Laboratorium Pendidikan Karakter”. http://karakter-smkn2depoksleman.org, diakses tanggal 5
Desember 2011.
Puskurbuk. (2011) Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter
(Berdasarkan Pengalaman di Satuan Pendidikan Rintisan). Jakarta: Balitbang,
Kemendiknas.
Sudaryanto. “Mata Kuliah Berterima
Kasih” dalam Alumny, Media Komunikasi Alumni UNY. Desember
2011. Yogyakarta.
Bimbingan Teknis PKB bagi Pendidik dan Tendik SMP Muh.
se-Kab. Sleman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar