Murwati Widiani
Esensi Isi Perda Nomor 5 Tahun 2012
Perda DIY Nomor 5 Tahun 2011
berisi tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Budaya.
Peraturan ini dibuat antara lain didasari pertimbangan bahwa pemerintah
Provinsi DIY telah menetapkan visi pembangunan Daerah Istimewa Yogyakarta pada
Tahun 2025 sebagai pusat pendidikan, budaya dan tujuan pariwisata terkemuka di
Asia Tenggara dalam lingkungan masyarakat yang maju, mandiri dan sejahtera.
Konsep pendidikan
berbasis budaya adalah pendidikan yang diselenggarakan untuk memenuhi standar
nasional pendidikan yang diperkaya dengan keunggulan komparatif dan kompetitif
berdasar nilai-nilai luhur budaya agar peserta didik secara aktif dapat
mengembangkan potensi diri sehingga menjadi manusia yang unggul, cerdas,
visioner, peka terhadap lingkungan dan keberagaman budaya, serta tanggap
terhadap perkembangan dunia.
Nilai-nilai luhur budaya tersebut meliputi 18 macam nilai, yakni:
kejujuran, kerendahan hati, ketertiban/kedisiplinan, kesusilaan,
kesopanan/kesantunan, kesabaran, kerjasama, toleransi, tanggung jawab,
keadilan, kepedulian, percaya diri, pengendalian diri, integritas, kerja keras/
keuletan/ketekunan, ketelitian, kepemimpinan, dan/atau ketangguhan.
Pengelolaan
dan penyelenggaraan pendidikan bertujuan untuk:
a. menyiapkan generasi muda yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, cinta tanah air dan bangsa, berjiwa luhur,
berbudaya, menjadi teladan, rela berkorban, kreatif dan inovatif serta profesional;
b. mengembangkan pendidikan berkualitas untuk
semua dan sepanjang hayat;
c. mewujudkan Daerah sebagai acuan pendidikan
Nasional;
d. mewujudkan Daerah sebagai pusat pendidikan
terkemuka di Asia Tenggara Tahun 2025;
e. meningkatkan tata kelola dan akuntabilitas
pendidikan;
f.
menciptakan
inovasi pendidikan secara sistemik dan sinergis;
g. menciptakan sinergitas satuan pendidikan, keluarga dan masyarakat
yang religius, berbudaya, edukatif, kreatif dan inovatif serta menjunjung
tinggi penegakan hukum;
h. mewujudkan program wajib belajar 12 (dua
belas) tahun; dan/atau
i.
mewujudkan
masyarakat pembelajar sepanjang hayat.
Pengelolaan
pendidikan meliputi: (a) perencanaan pendidikan; (b) penyediaan layanan
pendidikan; (c) peningkatan partisipasi
pendidikan; (d) pemantauan dan evaluasi;
(e) penjaminan mutu; dan (f) standar mutu pendidikan.
Standar mutu pendidikan berbasis budaya
mencakup: standar isi; standar proses; standar kompetensi lulusan; standar
pendidik dan tenaga kependidikan; standar sarana dan prasarana; standar
pengelolaan; standar pembiayaan; dan standar penilaian pendidikan.
Standar
isi memuat kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan berbasis budaya
yang mengintegrasikan muatan nilai luhur budaya dengan ilmu pengetahuan,
pendidikan, teknologi, humaniora,
kesenian, olahraga dan kegiatan sosial.
Standar
Proses: mengedepankan partisipasi aktif peserta didik dengan memperhatikan
keunikan pribadi, nilai kebebasan berkreasi, kesopanan, ketertiban,
kebahagiaan, kebersamaan, keadilan, dan saling menghormati.
SKL: Standar
kompetensi lulusan mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Ketentuan
lebih lanjut mengenai sikap, pengetahuan, dan keterampilan diatur dengan
Peraturan Gubernur.
Standar
Pendidik dan Tenaga Kependidikan: memenuhi prinsip profesionalitas dan memahami
nilai luhur budaya; wajib mengembangkan pemahaman dan menerapkan nilai luhur
budaya. Pendidik dan tenaga kependidikan yang tidak melaksanakan kewajiban
mengembangkan pemahaman dan menerapkan nilai luhur budaya dikenai sanksi
administratif.
Standar
sarpras meliputi SNP sebagai standar pelayanan minimal ditambah dengan sarana
dan prasarana untuk mendukung terlaksananya pendidikan berbasis budaya.
Penyediaan sarpras merupakan tanggung jawab Pemda untuk mendukung terlaksananya
pendidikan berbasis budaya pada: rintisan sekolah bertaraf internasional;
sekolah bertaraf internasional; dan pendidikan khusus. Pemda membantu
penyediaan sarana dan prasarana untuk mendukung terlaksananya pendidikan
berbasis budaya. Pemda melaksanakan pengawasan terhadap bantuan sarana dan
prasarana.
Standar
Pengelolaan Pendidikan:
Standar
pengelolaan pendidikan digunakan untuk kerangka dasar tata kelola pendidikan di
jalur formal, nonformal dan informal berbasis budaya. Pengelolaan satuan
pendidikan jalur formal dilakukan melalui jenjang pendidikan dasar dan menengah
dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah. Pengelolaan satuan pendidikan
jalur nonformal dilakukan dengan menerapkan manajemen berbasis masyarakat.
Pengelolaan pendidikan informal dikelola secara mandiri oleh keluarga dan/atau
lingkungan masyarakat.
Standar
Pembiayaan:
Standar pembiayaan terdiri atas biaya
investasi, biaya operasional dan biaya personal.
Pemda bertanggung jawab terhadap pembiayaan
untuk mendukung terlaksananya pendidikan berbasis budaya pada RSBI, SBI, dan
pendidikan khusus.
Pemda bertanggung jawab terhadap pembiayaan
untuk mendukung terlaksananya pendidikan layanan khusus sesuai dengan
kewenangannya.
Pemda membantu pembiayaan untuk mendukung
terlaksananya pendidikan berbasis budaya pada satuan pendidikan di jalur
formal, nonformal, dan informal yang diselenggarakan masyarakat.
Pemda melaksanakan pengawasan terhadap
bantuan pembiayaan.
Standar Penilaian:
Penilaian
pendidikan meliputi: mekanisme;
prosedur; dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik. Penilaian
dilaksanakan dengan pendekatan evaluasi berkesinambungan dan evaluasi otentik
dengan menggunakan berbagai metode. Evaluasi berkesinambungan adalah evaluasi
hasil belajar yang diikuti dengan tindak lanjutnya, data hasil evaluasi belajar
dimanfaatkan sebagai bahan untuk menyempurnakan program pembelajaran,
memperbaiki kelemahan-kelemahan pembelajaran, dan kegiatan bimbingan belajar
pada peserta didik yang memerlukannya. Evaluasi otentik adalah evaluasi yang
berbasis kompetensi, peserta didik bisa dikatakan belajar dengan benar dan
baik bila sudah bisa mengimplementasikan
hasil belajar dan mengaplikasikan keterampilannya dalam kehidupan sehari-hari.
Fokus pelaksanaan evaluasi otentik antara lain:
mengevaluasi kemampuan peserta didik untuk menganalisis materi
pembelajaran dan kejadian di sekitarnya, mengevaluasi kemampuan peserta didik
untuk mengintegrasikan apa yang telah dipelajari, kreativitas, kemampuan kerja sama, dan kemampuan
mengekspresikan secara lisan dan praktik.
Penyelenggaraan Pendidikan di
PAUD
Metoda pembelajaran yang
digunakan dalam Pendidikan Anak Usia Dini dilakukan dengan cara belajar dan
bermain dengan mengedepankan pendidikan berbasis budaya dengan:
a. mengenalkan nilai-nilai Agama dan
Pancasila;
b. mengenalkan lingkungan lokal;
c. mengenalkan dasar-dasar kecakapan hidup;
d. mengenalkan cara menyelamatkan diri dalam
menghadapi bencana;
e. menumbuhkan kesiapan dalam memasuki
pendidikan lebih lanjut.
Penyelenggaraan Pendidikan
Dasar
Metoda pembelajaran yang digunakan
dilakukan melalui pengenalan, pemahaman, dan pengembangan IPTEK, humaniora,
kesenian, olahraga, dan kehidupan sosial serta budaya yang berkembang secara
seimbang, sesuai perkembangan dan kebutuhan peserta didik.
Pengenalan, pemahaman dan pengembangan
dilakukan agar peserta didik:
◦ mengerti dan mengamalkan nilai-nilai Agama
dan Pancasila;
◦ mampu mengembangkan kecerdasan dan dasar
kepribadian;
◦ mampu mengembangkan dasar-dasar kecakapan
hidup;
◦ memahami dan mampu melakukan perlindungan
kebencanaan sesuai dengan usianya; dan
◦ mempunyai kesiapan dalam memasuki
pendidikan lebih lanjut.
Penyelenggaraan Pendidikan
Menengah
Metoda pembelajaran: dilakukan melalui
pengenalan, pemahaman dan penerapan IPTEK, humaniora, kesenian dan olahraga,
kegiatan sosial serta budaya secara seimbang sesuai kebutuhan peserta didik
serta kondisi perkembangan dunia.
Pengenalan, pemahaman dan penerapan
dilakukan agar peserta didik dapat
mengembangkan diri dan melaksanakan nilai-nilai luhur budaya sehingga:
◦
mampu
mengamalkan nilai-nilai Agama dan Pancasila;
◦
menjadi
manusia visioner yang cerdas;
◦
mampu
mengembangkan diri menjadi manusia yang berkualitas, mandiri, bijak, cerdas,
terampil, bermoral, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
◦
mempunyai
kesiapan dalam perlindungan kebencanaan untuk keselamatan diri dan lingkungan;
dan
◦
mempunyai
kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut dan atau dunia kerja.
Kewajiban satuan pendidikan
dan orang tua/wali peserta didik:
Satuan pendidikan harus menyelenggarakan
pertemuan berkala dengan orang tua/wali peserta didik untuk:
◦ memberikan pengetahuan pendidikan berbasis
budaya;
◦ menyelaraskan pola pendidikan dalam
keluarga dan di sekolah; dan
◦ mengkomunikasikan capaian belajar peserta
didik.
Orang tua/wali peserta didik harus
mendukung pertemuan berkala.
Implementasi Pendidikan Berbasis Budaya di Satuan Pendidikan
Setelah
memahami isi Perda Nomor 5 Tahun 2011, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
satuan pendidikan haruslah mengupayakan terwujudnya standar mutu pendidikan
sesuai dengan 8 standar nasional pendidikan. Upaya mewujudkan standar mutu
pendidikan tersebut haruslah dilandasi dengan nilai-nilai luhur budaya. Nilai
luhur budaya yang dimaksud identik dengan pendidikan karakter yang harus ditanamkan
pada peserta didik melalui berbagai strategi.
Menanamkan
nilai-nilai luhur budaya pada diri peserta didik bukan merupakan hal yang
mudah, namun bisa diupayakan dengan strategi keteladanan, program dan tindakan
nyata, serta pembiasaan. Dari 18 nilai budaya yang dimuat dalam peraturan
daerah tersebut, masih kita jumpai kesenjangan yang mengilustrasikan belum
tertanamnya nilai-nilai tersebut pada diri peserta didik. Sebut saja hal
tersebut sebagai “potret buram di album sekolah”.
Ada
beberapa potret buram yang terlihat di banyak sekolah antara lain:
•
kurang
percaya diri dan tidak jujur
•
kurang
bisa mengendalikan diri dan terjadinya disintegrasi
•
“lupa
berterima kasih”
•
tidak
suka meminta maaf ketika melakukan kesalahan
•
tidak
suka menolong orang lain
•
kurang
menyayangi dan menjaga tanaman;
•
membuang
sampah tidak pada tempatnya;
•
corat-coret
tembok, bangku, meja, dan fasilitas sekolah lainnya.
Rasa
kurang percaya diri dan sikap tidak jujur banyak terjadi pada siswa ketika
harus menempuh ujian atau mengerjakan tugas dari guru. Masih banyak siswa yang
mencontek, meng-copy paste tugas dari
milik orang lain merupakan bukti nyata adanya ketidakjujuran.
Adanya
perkelahian antarpelajar yang kini marak merupakan akibat dari kurangnya
pengendalian diri dan kurangnya sikap toleransi terhadap berbagai perbedaan dan
keragaman. Akhirnya, terjadilah disintegrasi antarpelajar.
Lupa
berterima kasih tampaknya merupakan hal sepele, namun sebenarnya budaya
berterima kasih merupakan hal penting yang harus ditanamkan pada peserta didik.
Pernah terjadi dalam kegiatan Olimpiade Sains Nasional (OSN), ketika dibagikan
soal, dari 40 peserta, ternyata hanya ada 4 siswa (berasal dari sekolah yang
sama) yang mengucapkan terima kasih. Boleh dikatakan, sebagian besar siswa lupa
berterima kasih ketika diberi kebaikan. Ini adalah wacana menarik yang perlu
dikaji asal muasalnya dan dicari solusinya agar peserta didik terbiasa
berterima kasih.
Selain
dengan teguran, membiasakan berterima kasih harus dimulai dengan keteladanan.
Para guru tidak cukup menuntut siswanya mengucap terima kasih ketika diberi
kebaikan sekecil apa pun, namun harus dimulai dari gurunya. Mari kita melakukan
refleksi diri, benarkah para guru di sekolah sudah terlebih dahulu mengucapkan
terima kasih, khususnya pada siswa? Misalnya ketika para siswanya sudah belajar
dengan baik, mengumpulkan tugas tepat waktu, memperhatikan guru, atau kebaikan
lain yang tampaknya memang sudah sewajarnya? Jika kita (guru) sudah
melakukannya, niscaya tanpa banyak nasihat pun mereka akan terbiasa mengucapkan
terima kasih. Benar kata Rosihan Anwar, “semua berawal dari keteladanan”.
Sudaryanto
(2011), seorang penulis muda yang terinspirasi menulis karena kisah dalam OSN
yang pernah saya ceritakan menyimpulkan, “Bila orang tua biasa berucap terima kasih, anak secara alamiah akan mengikutinya.
Sebaliknya, jika orang tua enggan berucap terima kasih, anak akan mengikutinya
juga. Demikian pula guru di lingkup persekolahan. Pendek kata, keteladanan
menjadi faktor dominan dalam pembentukan karakter seorang anak.”
Potret
buram berikutnya adalah tidak suka minta maaf jika melakukan kesalahan. Kita
sering menegur siswa yang memakai pakaian kurang rapi, bertanya mengapa
terlambat, atau mengapa tidak mengerjakan PR. Semua yang dilakukan siswa adalah
kesalahan, namun amat jarang siswa yang meminta maaf secara spontan. Yang
mereka lakukan ketika terlambat atau tidak mengerjakan tugas adalah
terburu-buru menyampaikan berbagai alasan untuk menutupi kesalahannya. Lalu,
mengapa para siswa agak sulit meminta maaf jika melakukan kesalahan? Sebagai
guru, kita wajib berwas-was. Jangan jangan karena gurunya juga jarang meminta
maaf di hadapan para siswa. Contoh konkret, kita dapat bertanya pada diri
sendiri, apakah guru meminta maaf ketika terlambat masuk kelas? Sudahkah guru
meminta maaf ketika belum sempat mengoreksi dan mengembalikan pekerjaan siswa?
Atau ketika salah atau kurang jelas dalam menjelaskan suatu konsep?
Mungkin
sebagian orang menganggap meminta maaf di hadapan siswa akan menurunkan
kewibawaan. Pandangan semacam itu merupakan pandangan yang sangat keliru.
Justru ketika seseorang mengakui kesalahan dan meminta maaf, keluhurannya akan
tampak, jiwa ksatria akan terlihat. Tentu saja permintaan maaf haruslah
disertai dengan kesungguhan untuk tidak mengulangi lagi kesalahan yang sama.
Dengan demikian, sebenarnya pengakuan salah dan permintaan maaf dapat dijadikan
cemeti diri bagi seseorang.
Sikap tidak suka menolong
orang lain, masih terjadi pada diri peserta didik. Pernah suatu saat saya
berkunjung ke sebuah sekolah, sebut saja SMP A. Kebetulan saat itu jam
istirahat. Dari luar pagar saya melihat banyak siswa sedang bermain basket dan
banyak pula yang sedang duduk-duduk santai. Pintu gerbang yang akan saya masuki
hanya terbuka separuh sehingga tidak cukup untuk masuk kendaraan. Saya sengaja
menunggu beberapa saat, berharap ada satu atau dua orang siswa yang berbaik
hati untuk membukakan pintu. Beberapa menit saya tunggu, ternyata tidak seorang
pun yang beranjak. Akhirnya, saya turun, mendorong gerbang sendiri di hadapan
anak-anak yang hanya melihat. Cerita ini
merupakan bukti nyata dari sikap tidak suka menolong orang lain atau
kurang peduli sosial. Budaya individualis memang sudah merambah di kalangan
anak bangsa. Kebiasaan kebanyakan anak sekarang yang sering sibuk dengan
dunianya sendiri, terlalu sering bergelut dengan teknologi modern (HP, komputer
dan internet) telah membuat anak kurang bersosialisasi. Dari kondisi ini,
terbentuklah sikap “cuek” dan tidak peduli.
Sering
kita lihat banyak orang (juga siswa) berkumpul di suatu tempat dalam acara
arisan, rapat, atau keakraban, tetapi justru sibuk dengan dunianya
masing-masing. Dengan HP di tangannya, mereka sibuk berkirim dan membalas SMS,
membuka facebook, bermain game, atau “ngenet”. Inilah dampak dari teknologi canggih yang kini menjajah
sebagian besar anak bangsa. Kebiasaan yang telah membentuk orang menjadi egois,
individualis, dan “cuek”.
Jika dibiarkan, kita akan memiliki generasi yang kurang peduli, kurang
peka, dan kurang bisa bekerja sama dalam tim. Gurulah yang harus membiasakan anak tidak
bersifat individualis. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran, guru
haruslah mengembangkan sikap kerja sama melalui learning
community dengan menerapkan metode yang kooperatif dan kolaboratif. Dalam Permendiknas
nomor 41 tahun 2007 tentang standar proses disebutkan: “proses pembelajaran harus interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, dan
memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,
kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat,
minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.” Pembelajaran yang interaktif dapat
dimaknai pembelajaran yang memunculkan adanya interaksi antara siswa dan guru,
siswa dan siswa, serta siswa dengan sumber belajar lainnya. Melalui
pembelajaran interaktif, kemampuan afektif siswa berupa kemampuan kerja sama
akan terwujud.
Selain itu, BUDAYA 3-S
(Senyum, Sapa, Salam) yang kini terpampang di hampir semua sekolah, jika
diamalkan benar juga akan dapat mengurangi kebiasaan “cuek”. Untuk mengamalkan slogan tersebut tentu harus dipelopori
kepala sekolah, guru, dan juga tenaga kependidikan. Biasakan berada di sekolah
sebelum para siswa datang. Berdirilah di gerbang sekolah untuk menyambut
kedatangan siswa. Salami mereka, sapa dengan pertanyaan-pertanyaan ringan,
tepuk bahunya sambil memberi sedikit nasihat. Jika hal itu terus dilakukan,
kedekatan antara siswa dan guru/tendik akan lebih terjalin. Begitu pula sikap
ramah dan peduli sosial pada siswa akan bertambah.
Kurang Peduli Lingkungan
Sering kita melihat siswa
kurang peduli terhadap lingkungan, suka membuang sampah tidak pada tempatnya,
merusak lingkungan dengan corat-coret di tembok, meja, bangku dan fasilitas
sekolah lainnya. Apa sebenarnya yang menyebabkan mereka berbuat demikian?
Kekurangpedulian terhadap lingkungan memang merupakan kebiasaan yang sudah
hampir membudaya di negeri ini. Tidak terbatas hanya di sekolah, lihat saja
banyak orang dengan sangat biasa membuang puntung rokok atau bungkus permen di
mana pun mereka berada. Mereka tidak pernah berpikir perbuatannya akan
mengotori lingkungan atau mengganggu kenyamanan orang.
Untuk menyikapi perilaku
kurang peduli lingkungan yang sudah membudaya, sekolah dapat dijadikan
laboratorium untuk mengubah sedikit demi sedikit agar menjadi lebih peduli
lingkungan.
Seperti
dikemukakan Nana Supriatna, http://karakter-smkn2depoksleman.org,
Sebagai laboratorium pendidikan karakter, sekolah dapat menjadi contoh pembentukan
karakter peduli pada lingkungan. Hal itu juga relevan dengan semangat green living, ecoliving, ecocity, dan
lain-lain yang kini menjadi jargon dalam gerakan hijau untuk menangkal
pemanasan global (global -warming)
serta semakin terbatasnya sumber daya alam akibat eksploitasi yang berlebihan
guna memenuhi kebutuhan konsumen. Sebagai contoh, sekolah yang memiliki halaman
yang sempit atau luas yang ditanami oleh rumput, taman hijau serta pohon
pelindung, memiliki ruang-ruang kelas dengan jendela terbuka dan tanpa mesin
pendingin (AC) merupakan tempat yang baik untuk mengondisikan siswa membentuk
karakter peduli lingkungan dan peduli sosial. Kebijakan kepala sekolah yang
meminta para siswa yang bertempat tinggal dekat dengan sekolah untuk berjalan
kaki pulang dan pergi serta menggunakan sepeda bagi mereka yang bertempat
tinggal agak jauh merupakan kebijakan yang baik untuk menghemat penggunaan
bahan bakar yang semakin terbatas. Sebaliknya, sekolah yang mengganti halaman
rumput dengan lapangan semen untuk upacara dan tempat parkir, mengganti pohon
dan pagar tanaman dengan gerbang sekolah dari beton, menciptakan ruang kelas
tertutup dengan penerangan listrik dan berpendingin (AC), merupakan kebijakan
yang tidak relevan dengan pendidikan karakter peduli lingkungan.
Jika
sekolah berhasil berperan sebagai laboratorium pendidikan karakter peduli
lingkungan, diharapkan para siswa juga akan menerapkannya di rumah dan di
masyarakat. Hal pertama yang sederhana, sekolah harus mencukupkan fasilitas
kebersihan seperti sapu, serok, tempat sampah yang lengkap, dan sarana air. Hal
penting yang harus diperhatikan sekolah adalah kamar kecil atau toilet. Pernah
ada orang mengatakan bahwa jika ingin melihat karakter bersih dari penghuni
sebuah rumah atau sekolah, lihatlah toiletnya.
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono pada puncak peringatan Hardiknas di Istana Negara
(Selasa, 11 Mei 2010) mengutarakan:
”…Saudara-saudara,
kalau saya berkunjung ke SD, SMP, Saudara sering mendampingi saya, sebelum saya
dipresentasikan sesuatu yang jauh, yang maju, yang membanggakan, Saya lihat
kamar mandi dan WC-nya bersih tidak, bau tidak, airnya ada tidak. Ada nggak
tumbuhan supaya tidak kerontang di situ. Kebersihan secara umum, ketertiban
secara umum. Sebab kalau anak kita TK, SD, SMP selama 10 tahun lebih tiap hari
berada dalam lingkungan yang bersih, lingkungan yang tertib, lingkungan yang
teratur itu ada values creation. Ada character building dari segi itu. Jadi
bisa kita lakukan semuanya itu dengan sebaik-baiknya….” (Puskurbuk,
2011:8).
Mengimplementasikan
pendidikan berbasis budaya di sekolah dapat dilakukan dengan menganalisis berbagai
kesenjangan yang terjadi, kemudian berusaha menerapkan solusi. Berbagai potret
buram di sekolah terkait dengan pengamalan nilai-nilai budaya harus dicari penyebabnya,
kemudian diupayakan agar tidak terjadi lagi. Jika diupayakan dengan berbagai
aksi, program kegiatan, teguran, keteladanan, dan pembiasaan, niscaya potret
buram itu akan terhapus. Penanaman nilai-nilai budaya bukan hanya tanggung
jawab guru PKn, guru agama, atau guru BK, melainkan juga tanggung jawab semua
guru dan tenaga kependidikan yang ada di sekolah. Secara umum, semua guru
sebagaimana yang sudah dilakukan adalah mengintegrasikan nilai-nilai budaya
atau pendidikan karakter ke dalam perencanaan pembelajaran atau memasukkannya
ke dalam silabus dan RPP. Namun, tidaklah cukup atau penting jika dalam
implementasi masih miskin dengan tindakan nyata. Pendidikan berbasis budaya itu
nyata bukan teoretis. Jadi, keteladanan, tindakan nyata akan lebih baik
daripada seribu nasihat.
Bahan Bacaan
Depdiknas.
(2007). Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007
tentang Standar Proses. Jakarta.
Nana
Supriatna. “Sekolah sebagai Laboratorium Pendidikan Karakter”. http://karakter-smkn2depoksleman.org, diakses tanggal 5
Desember 2011.
Puskurbuk. (2011)
Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter
(Berdasarkan Pengalaman di Satuan Pendidikan Rintisan). Jakarta: Balitbang,
Kemendiknas.
Sudaryanto. “Mata
Kuliah Berterima Kasih” dalam Alumny,
Media Komunikasi Alumni UNY. Desember
2011. Yogyakarta.
___Perda DIY
Nomor 5 Tahun 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar