Senin, 08 April 2013

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA


Murwati Widiani

Esensi Isi Perda Nomor 5 Tahun 2012

                Perda DIY Nomor 5 Tahun 2011 berisi tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Budaya. Peraturan ini dibuat antara lain didasari pertimbangan bahwa pemerintah Provinsi DIY telah menetapkan visi pembangunan Daerah Istimewa Yogyakarta pada Tahun 2025 sebagai pusat pendidikan, budaya dan tujuan pariwisata terkemuka di Asia Tenggara dalam lingkungan masyarakat yang maju, mandiri dan sejahtera.

Konsep pendidikan berbasis budaya adalah pendidikan yang diselenggarakan untuk memenuhi standar nasional pendidikan yang diperkaya dengan keunggulan komparatif dan kompetitif berdasar nilai-nilai luhur budaya agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi diri sehingga menjadi manusia yang unggul, cerdas, visioner, peka terhadap lingkungan dan keberagaman budaya, serta tanggap terhadap perkembangan dunia.

Nilai-nilai luhur budaya tersebut meliputi 18 macam nilai, yakni: kejujuran, kerendahan hati, ketertiban/kedisiplinan, kesusilaan, kesopanan/kesantunan, kesabaran, kerjasama, toleransi, tanggung jawab, keadilan, kepedulian, percaya diri, pengendalian diri, integritas, kerja keras/ keuletan/ketekunan, ketelitian, kepemimpinan, dan/atau ketangguhan.

Pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan bertujuan untuk:
a.       menyiapkan generasi muda yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, cinta tanah air dan bangsa, berjiwa luhur, berbudaya, menjadi teladan, rela berkorban, kreatif dan inovatif serta  profesional;
b.      mengembangkan pendidikan berkualitas untuk semua dan sepanjang hayat; 
c.       mewujudkan Daerah sebagai acuan pendidikan Nasional;
d.      mewujudkan Daerah sebagai pusat pendidikan terkemuka di Asia Tenggara Tahun 2025;
e.      meningkatkan tata kelola dan akuntabilitas pendidikan;
f.        menciptakan inovasi pendidikan secara sistemik dan sinergis; 
g.       menciptakan sinergitas  satuan pendidikan, keluarga dan masyarakat yang religius, berbudaya, edukatif, kreatif dan inovatif serta menjunjung tinggi penegakan hukum; 
h.      mewujudkan program wajib belajar 12 (dua belas) tahun; dan/atau
i.         mewujudkan masyarakat pembelajar sepanjang hayat.

Pengelolaan pendidikan meliputi: (a) perencanaan pendidikan; (b) penyediaan layanan pendidikan;  (c) peningkatan partisipasi pendidikan;  (d) pemantauan dan evaluasi; (e) penjaminan mutu; dan (f) standar mutu pendidikan.  

Standar mutu pendidikan berbasis budaya mencakup: standar isi; standar proses; standar kompetensi lulusan; standar pendidik dan tenaga kependidikan; standar sarana dan prasarana; standar pengelolaan; standar pembiayaan; dan standar penilaian pendidikan. 

Standar isi memuat kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan berbasis budaya yang mengintegrasikan muatan nilai luhur budaya dengan ilmu pengetahuan, pendidikan, teknologi,  humaniora, kesenian, olahraga dan kegiatan sosial.
Standar Proses: mengedepankan partisipasi aktif peserta didik dengan memperhatikan keunikan pribadi, nilai kebebasan berkreasi, kesopanan, ketertiban, kebahagiaan, kebersamaan, keadilan, dan saling menghormati. 
SKL: Standar kompetensi lulusan mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Ketentuan lebih lanjut mengenai sikap, pengetahuan, dan keterampilan diatur dengan Peraturan Gubernur. 
Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan: memenuhi prinsip profesionalitas dan memahami nilai luhur budaya; wajib mengembangkan pemahaman dan menerapkan nilai luhur budaya. Pendidik dan tenaga kependidikan yang tidak melaksanakan kewajiban mengembangkan pemahaman dan menerapkan nilai luhur budaya dikenai sanksi administratif. 
Standar sarpras meliputi SNP sebagai standar pelayanan minimal ditambah dengan sarana dan prasarana untuk mendukung terlaksananya pendidikan berbasis budaya. Penyediaan sarpras merupakan tanggung jawab Pemda untuk mendukung terlaksananya pendidikan berbasis budaya pada: rintisan sekolah bertaraf internasional; sekolah bertaraf internasional; dan pendidikan khusus. Pemda membantu penyediaan sarana dan prasarana untuk mendukung terlaksananya pendidikan berbasis budaya. Pemda melaksanakan pengawasan terhadap bantuan sarana dan prasarana.

Standar Pengelolaan Pendidikan:
Standar pengelolaan pendidikan digunakan untuk kerangka dasar tata kelola pendidikan di jalur formal, nonformal dan informal berbasis budaya. Pengelolaan satuan pendidikan jalur formal dilakukan melalui jenjang pendidikan dasar dan menengah dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah. Pengelolaan satuan pendidikan jalur nonformal dilakukan dengan menerapkan manajemen berbasis masyarakat. Pengelolaan pendidikan informal dikelola secara mandiri oleh keluarga dan/atau lingkungan masyarakat. 

Standar Pembiayaan:
Standar pembiayaan terdiri atas biaya investasi, biaya operasional dan biaya personal.
Pemda bertanggung jawab terhadap pembiayaan untuk mendukung terlaksananya pendidikan berbasis budaya pada RSBI, SBI, dan pendidikan khusus.
Pemda bertanggung jawab terhadap pembiayaan untuk mendukung terlaksananya pendidikan layanan khusus sesuai dengan kewenangannya.
Pemda membantu pembiayaan untuk mendukung terlaksananya pendidikan berbasis budaya pada satuan pendidikan di jalur formal, nonformal, dan informal yang diselenggarakan masyarakat.
Pemda melaksanakan pengawasan terhadap bantuan pembiayaan. 

Standar Penilaian:
Penilaian pendidikan meliputi:  mekanisme; prosedur; dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik. Penilaian dilaksanakan dengan pendekatan evaluasi berkesinambungan dan evaluasi otentik dengan menggunakan berbagai metode. Evaluasi berkesinambungan adalah evaluasi hasil belajar yang diikuti dengan tindak lanjutnya, data hasil evaluasi belajar dimanfaatkan sebagai bahan untuk menyempurnakan program pembelajaran, memperbaiki kelemahan-kelemahan pembelajaran, dan kegiatan bimbingan belajar pada peserta didik yang memerlukannya. Evaluasi otentik adalah evaluasi yang berbasis kompetensi, peserta didik bisa dikatakan belajar dengan benar dan baik  bila sudah bisa mengimplementasikan hasil belajar dan mengaplikasikan keterampilannya dalam kehidupan sehari-hari. Fokus pelaksanaan evaluasi otentik antara lain:  mengevaluasi kemampuan peserta didik untuk menganalisis materi pembelajaran dan kejadian di sekitarnya, mengevaluasi kemampuan peserta didik untuk mengintegrasikan apa yang telah dipelajari, kreativitas,  kemampuan kerja sama, dan kemampuan mengekspresikan secara lisan dan praktik.

Penyelenggaraan Pendidikan di PAUD
Metoda pembelajaran yang digunakan dalam Pendidikan Anak Usia Dini dilakukan dengan cara belajar dan bermain dengan mengedepankan pendidikan berbasis budaya dengan: 
a.       mengenalkan nilai-nilai Agama dan Pancasila;
b.      mengenalkan lingkungan lokal;
c.       mengenalkan dasar-dasar kecakapan hidup;
d.      mengenalkan cara menyelamatkan diri dalam menghadapi bencana;
e.      menumbuhkan kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. 



Penyelenggaraan Pendidikan Dasar
  Metoda pembelajaran yang digunakan dilakukan melalui pengenalan, pemahaman, dan pengembangan IPTEK, humaniora, kesenian, olahraga, dan kehidupan sosial serta budaya yang berkembang secara seimbang, sesuai perkembangan dan kebutuhan peserta didik.
  Pengenalan, pemahaman dan pengembangan dilakukan agar  peserta didik:
       mengerti dan mengamalkan nilai-nilai Agama dan Pancasila; 
       mampu mengembangkan kecerdasan dan dasar kepribadian;
       mampu mengembangkan dasar-dasar kecakapan hidup; 
       memahami dan mampu melakukan perlindungan kebencanaan sesuai dengan usianya; dan
       mempunyai kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. 

Penyelenggaraan Pendidikan Menengah
  Metoda pembelajaran: dilakukan melalui pengenalan, pemahaman dan penerapan IPTEK, humaniora, kesenian dan olahraga, kegiatan sosial serta budaya secara seimbang sesuai kebutuhan peserta didik serta kondisi perkembangan dunia.
  Pengenalan, pemahaman dan penerapan dilakukan agar  peserta didik dapat mengembangkan diri dan melaksanakan nilai-nilai luhur budaya sehingga:
     mampu mengamalkan nilai-nilai Agama dan Pancasila;
     menjadi manusia visioner yang cerdas;
     mampu mengembangkan diri menjadi manusia yang berkualitas, mandiri, bijak, cerdas, terampil, bermoral, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 
     mempunyai kesiapan dalam perlindungan kebencanaan untuk keselamatan diri dan lingkungan; dan 
     mempunyai kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut dan atau dunia kerja. 

Kewajiban satuan pendidikan dan orang tua/wali peserta didik:
  Satuan pendidikan harus menyelenggarakan pertemuan berkala dengan orang tua/wali peserta didik untuk:
       memberikan pengetahuan pendidikan berbasis budaya;
       menyelaraskan pola pendidikan dalam keluarga dan di sekolah; dan 
       mengkomunikasikan capaian belajar peserta didik.
  Orang tua/wali peserta didik harus mendukung pertemuan berkala.


Implementasi Pendidikan Berbasis Budaya di Satuan Pendidikan

Setelah memahami isi Perda Nomor 5 Tahun 2011, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa satuan pendidikan haruslah mengupayakan terwujudnya standar mutu pendidikan sesuai dengan 8 standar nasional pendidikan. Upaya mewujudkan standar mutu pendidikan tersebut haruslah dilandasi dengan nilai-nilai luhur budaya. Nilai luhur budaya yang dimaksud identik dengan pendidikan karakter yang harus ditanamkan pada peserta didik melalui berbagai strategi.

Menanamkan nilai-nilai luhur budaya pada diri peserta didik bukan merupakan hal yang mudah, namun bisa diupayakan dengan strategi keteladanan, program dan tindakan nyata, serta pembiasaan. Dari 18 nilai budaya yang dimuat dalam peraturan daerah tersebut, masih kita jumpai kesenjangan yang mengilustrasikan belum tertanamnya nilai-nilai tersebut pada diri peserta didik. Sebut saja hal tersebut sebagai “potret buram di album sekolah”.

Ada beberapa potret buram yang terlihat di banyak sekolah antara lain:
       kurang percaya diri dan tidak jujur
       kurang bisa mengendalikan diri dan terjadinya disintegrasi
       “lupa berterima kasih”
       tidak suka meminta maaf ketika melakukan kesalahan
       tidak suka menolong orang lain
       kurang menyayangi dan menjaga tanaman;
       membuang sampah tidak pada tempatnya;
       corat-coret tembok, bangku, meja, dan fasilitas sekolah lainnya.

Rasa kurang percaya diri dan sikap tidak jujur banyak terjadi pada siswa ketika harus menempuh ujian atau mengerjakan tugas dari guru. Masih banyak siswa yang mencontek, meng-copy paste tugas dari milik orang lain merupakan bukti nyata adanya ketidakjujuran.

Adanya perkelahian antarpelajar yang kini marak merupakan akibat dari kurangnya pengendalian diri dan kurangnya sikap toleransi terhadap berbagai perbedaan dan keragaman. Akhirnya, terjadilah disintegrasi antarpelajar.

Lupa berterima kasih tampaknya merupakan hal sepele, namun sebenarnya budaya berterima kasih merupakan hal penting yang harus ditanamkan pada peserta didik. Pernah terjadi dalam kegiatan Olimpiade Sains Nasional (OSN), ketika dibagikan soal, dari 40 peserta, ternyata hanya ada 4 siswa (berasal dari sekolah yang sama) yang mengucapkan terima kasih. Boleh dikatakan, sebagian besar siswa lupa berterima kasih ketika diberi kebaikan. Ini adalah wacana menarik yang perlu dikaji asal muasalnya dan dicari solusinya agar peserta didik terbiasa berterima kasih.

Selain dengan teguran, membiasakan berterima kasih harus dimulai dengan keteladanan. Para guru tidak cukup menuntut siswanya mengucap terima kasih ketika diberi kebaikan sekecil apa pun, namun harus dimulai dari gurunya. Mari kita melakukan refleksi diri, benarkah para guru di sekolah sudah terlebih dahulu mengucapkan terima kasih, khususnya pada siswa? Misalnya ketika para siswanya sudah belajar dengan baik, mengumpulkan tugas tepat waktu, memperhatikan guru, atau kebaikan lain yang tampaknya memang sudah sewajarnya? Jika kita (guru) sudah melakukannya, niscaya tanpa banyak nasihat pun mereka akan terbiasa mengucapkan terima kasih. Benar kata Rosihan Anwar, “semua berawal dari keteladanan”.

Sudaryanto (2011), seorang penulis muda yang terinspirasi menulis karena kisah dalam OSN yang pernah saya ceritakan menyimpulkan, “Bila orang tua biasa berucap terima  kasih, anak secara alamiah akan mengikutinya. Sebaliknya, jika orang tua enggan berucap terima kasih, anak akan mengikutinya juga. Demikian pula guru di lingkup persekolahan. Pendek kata, keteladanan menjadi faktor dominan dalam pembentukan karakter seorang anak.”

Potret buram berikutnya adalah tidak suka minta maaf jika melakukan kesalahan. Kita sering menegur siswa yang memakai pakaian kurang rapi, bertanya mengapa terlambat, atau mengapa tidak mengerjakan PR. Semua yang dilakukan siswa adalah kesalahan, namun amat jarang siswa yang meminta maaf secara spontan. Yang mereka lakukan ketika terlambat atau tidak mengerjakan tugas adalah terburu-buru menyampaikan berbagai alasan untuk menutupi kesalahannya. Lalu, mengapa para siswa agak sulit meminta maaf jika melakukan kesalahan? Sebagai guru, kita wajib berwas-was. Jangan jangan karena gurunya juga jarang meminta maaf di hadapan para siswa. Contoh konkret, kita dapat bertanya pada diri sendiri, apakah guru meminta maaf ketika terlambat masuk kelas? Sudahkah guru meminta maaf ketika belum sempat mengoreksi dan mengembalikan pekerjaan siswa? Atau ketika salah atau kurang jelas dalam menjelaskan suatu konsep?

Mungkin sebagian orang menganggap meminta maaf di hadapan siswa akan menurunkan kewibawaan. Pandangan semacam itu merupakan pandangan yang sangat keliru. Justru ketika seseorang mengakui kesalahan dan meminta maaf, keluhurannya akan tampak, jiwa ksatria akan terlihat. Tentu saja permintaan maaf haruslah disertai dengan kesungguhan untuk tidak mengulangi lagi kesalahan yang sama. Dengan demikian, sebenarnya pengakuan salah dan permintaan maaf dapat dijadikan cemeti diri bagi seseorang.

Sikap tidak suka menolong orang lain, masih terjadi pada diri peserta didik. Pernah suatu saat saya berkunjung ke sebuah sekolah, sebut saja SMP A. Kebetulan saat itu jam istirahat. Dari luar pagar saya melihat banyak siswa sedang bermain basket dan banyak pula yang sedang duduk-duduk santai. Pintu gerbang yang akan saya masuki hanya terbuka separuh sehingga tidak cukup untuk masuk kendaraan. Saya sengaja menunggu beberapa saat, berharap ada satu atau dua orang siswa yang berbaik hati untuk membukakan pintu. Beberapa menit saya tunggu, ternyata tidak seorang pun yang beranjak. Akhirnya, saya turun, mendorong gerbang sendiri di hadapan anak-anak yang hanya melihat. Cerita ini  merupakan bukti nyata dari sikap tidak suka menolong orang lain atau kurang peduli sosial. Budaya individualis memang sudah merambah di kalangan anak bangsa. Kebiasaan kebanyakan anak sekarang yang sering sibuk dengan dunianya sendiri, terlalu sering bergelut dengan teknologi modern (HP, komputer dan internet) telah membuat anak kurang bersosialisasi. Dari kondisi ini, terbentuklah sikap “cuek” dan tidak peduli.
Sering kita lihat banyak orang (juga siswa) berkumpul di suatu tempat dalam acara arisan, rapat, atau keakraban, tetapi justru sibuk dengan dunianya masing-masing. Dengan HP di tangannya, mereka sibuk berkirim dan membalas SMS, membuka facebook, bermain game, atau “ngenet”. Inilah dampak dari teknologi canggih yang kini menjajah sebagian besar anak bangsa. Kebiasaan yang telah membentuk orang menjadi egois, individualis, dan “cuek”.

Jika dibiarkan, kita akan memiliki generasi yang kurang peduli, kurang peka, dan kurang bisa bekerja sama dalam tim. Gurulah yang harus membiasakan anak tidak bersifat individualis. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran, guru haruslah mengembangkan sikap kerja sama melalui learning community dengan menerapkan metode yang kooperatif dan kolaboratif. Dalam Permendiknas nomor 41 tahun 2007 tentang standar proses disebutkan:  proses pembelajaran harus interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.” Pembelajaran yang interaktif dapat dimaknai pembelajaran yang memunculkan adanya interaksi antara siswa dan guru, siswa dan siswa, serta siswa dengan sumber belajar lainnya. Melalui pembelajaran interaktif, kemampuan afektif siswa berupa kemampuan kerja sama akan terwujud.

Selain itu, BUDAYA 3-S (Senyum, Sapa, Salam) yang kini terpampang di hampir semua sekolah, jika diamalkan benar juga akan dapat mengurangi kebiasaan “cuek”. Untuk mengamalkan slogan tersebut tentu harus dipelopori kepala sekolah, guru, dan juga tenaga kependidikan. Biasakan berada di sekolah sebelum para siswa datang. Berdirilah di gerbang sekolah untuk menyambut kedatangan siswa. Salami mereka, sapa dengan pertanyaan-pertanyaan ringan, tepuk bahunya sambil memberi sedikit nasihat. Jika hal itu terus dilakukan, kedekatan antara siswa dan guru/tendik akan lebih terjalin. Begitu pula sikap ramah dan peduli sosial pada siswa akan bertambah.

Kurang Peduli Lingkungan
Sering kita melihat siswa kurang peduli terhadap lingkungan, suka membuang sampah tidak pada tempatnya, merusak lingkungan dengan corat-coret di tembok, meja, bangku dan fasilitas sekolah lainnya. Apa sebenarnya yang menyebabkan mereka berbuat demikian? Kekurangpedulian terhadap lingkungan memang merupakan kebiasaan yang sudah hampir membudaya di negeri ini. Tidak terbatas hanya di sekolah, lihat saja banyak orang dengan sangat biasa membuang puntung rokok atau bungkus permen di mana pun mereka berada. Mereka tidak pernah berpikir perbuatannya akan mengotori lingkungan atau mengganggu kenyamanan orang.
Untuk menyikapi perilaku kurang peduli lingkungan yang sudah membudaya, sekolah dapat dijadikan laboratorium untuk mengubah sedikit demi sedikit agar menjadi lebih peduli lingkungan.
Seperti dikemukakan Nana Supriatna, http://karakter-smkn2depoksleman.org, Sebagai laboratorium pendidikan karakter, sekolah dapat menjadi contoh pembentukan karakter peduli pada lingkungan. Hal itu juga relevan dengan semangat green living, ecoliving, ecocity, dan lain-lain yang kini menjadi jargon dalam gerakan hijau untuk menangkal pemanasan global (global -warming) serta semakin terbatasnya sumber daya alam akibat eksploitasi yang berlebihan guna memenuhi kebutuhan konsumen. Sebagai contoh, sekolah yang memiliki halaman yang sempit atau luas yang ditanami oleh rumput, taman hijau serta pohon pelindung, memiliki ruang-ruang kelas dengan jendela terbuka dan tanpa mesin pendingin (AC) merupakan tempat yang baik untuk mengondisikan siswa membentuk karakter peduli lingkungan dan peduli sosial. Kebijakan kepala sekolah yang meminta para siswa yang bertempat tinggal dekat dengan sekolah untuk berjalan kaki pulang dan pergi serta menggunakan sepeda bagi mereka yang bertempat tinggal agak jauh merupakan kebijakan yang baik untuk menghemat penggunaan bahan bakar yang semakin terbatas. Sebaliknya, sekolah yang mengganti halaman rumput dengan lapangan semen untuk upacara dan tempat parkir, mengganti pohon dan pagar tanaman dengan gerbang sekolah dari beton, menciptakan ruang kelas tertutup dengan penerangan listrik dan berpendingin (AC), merupakan kebijakan yang tidak relevan dengan pendidikan karakter peduli lingkungan.

Jika sekolah berhasil berperan sebagai laboratorium pendidikan karakter peduli lingkungan, diharapkan para siswa juga akan menerapkannya di rumah dan di masyarakat. Hal pertama yang sederhana, sekolah harus mencukupkan fasilitas kebersihan seperti sapu, serok, tempat sampah yang lengkap, dan sarana air. Hal penting yang harus diperhatikan sekolah adalah kamar kecil atau toilet. Pernah ada orang mengatakan bahwa jika ingin melihat karakter bersih dari penghuni sebuah rumah atau sekolah, lihatlah toiletnya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada puncak peringatan Hardiknas di Istana Negara (Selasa, 11 Mei 2010) mengutarakan:
 ”…Saudara-saudara, kalau saya berkunjung ke SD, SMP, Saudara sering mendampingi saya, sebelum saya dipresentasikan sesuatu yang jauh, yang maju, yang membanggakan, Saya lihat kamar mandi dan WC-nya bersih tidak, bau tidak, airnya ada tidak. Ada nggak tumbuhan supaya tidak kerontang di situ. Kebersihan secara umum, ketertiban secara umum. Sebab kalau anak kita TK, SD, SMP selama 10 tahun lebih tiap hari berada dalam lingkungan yang bersih, lingkungan yang tertib, lingkungan yang teratur itu ada values creation. Ada character building dari segi itu. Jadi bisa kita lakukan semuanya itu dengan sebaik-baiknya….” (Puskurbuk, 2011:8).

Mengimplementasikan pendidikan berbasis budaya di sekolah dapat dilakukan dengan menganalisis berbagai kesenjangan yang terjadi, kemudian berusaha menerapkan solusi. Berbagai potret buram di sekolah terkait dengan pengamalan nilai-nilai budaya harus dicari penyebabnya, kemudian diupayakan agar tidak terjadi lagi. Jika diupayakan dengan berbagai aksi, program kegiatan, teguran, keteladanan, dan pembiasaan, niscaya potret buram itu akan terhapus. Penanaman nilai-nilai budaya bukan hanya tanggung jawab guru PKn, guru agama, atau guru BK, melainkan juga tanggung jawab semua guru dan tenaga kependidikan yang ada di sekolah. Secara umum, semua guru sebagaimana yang sudah dilakukan adalah mengintegrasikan nilai-nilai budaya atau pendidikan karakter ke dalam perencanaan pembelajaran atau memasukkannya ke dalam silabus dan RPP. Namun, tidaklah cukup atau penting jika dalam implementasi masih miskin dengan tindakan nyata. Pendidikan berbasis budaya itu nyata bukan teoretis. Jadi, keteladanan, tindakan nyata akan lebih baik daripada seribu nasihat.


Bahan Bacaan

Depdiknas. (2007). Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses. Jakarta.
Nana Supriatna. “Sekolah sebagai Laboratorium Pendidikan Karakter”. http://karakter-smkn2depoksleman.org, diakses tanggal 5 Desember 2011.
Puskurbuk. (2011) Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter (Berdasarkan Pengalaman di Satuan Pendidikan Rintisan). Jakarta: Balitbang, Kemendiknas.
Sudaryanto. “Mata Kuliah Berterima Kasih” dalam Alumny, Media Komunikasi Alumni UNY. Desember 2011. Yogyakarta.
___Perda DIY Nomor 5 Tahun 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar