Senin, 11 Mei 2009

Kota Bersih Tanpa Slogan Kebersihan

Sebuah Catatan Perjalanan ke Jepang
Murwati Widiani
Kedaulatan Rakyat, 19 Oktober 2003

Melakukan perjalanan Wisata Kajian Pendidikan ke Jepang atas undangan dari The Japan Foundation selama dua pekan (September 2003) sungguh meninggalkan kesan yang mendalam. Ada rasa nyaman dan ingin tinggal di sana lebih lama karena ada banyak hal yang menarik dan tidak ditemui di negeri lain. Satu di antaranya adalah hidupnya budaya bersih dan sehat.

Pertama kali, kaki mulai menginjak tanah Jepang, satu pesan menantang yang disampaikan Pak Ceppy, guru bahasa Jepang yang membekali kami sebelum berangkat, mulai tergambar. “Silakan bawa lalat Jepang ke sini kalau ada !”, begitu beliau berpesan ketika menggambarkan betapa bersihnya Jepang. Hari demi hari, mulai dari kota Tokyo, Hiroshima, Kyoto, Miyako, Osaka, Niigata, saya tidak bertemu seekor lalat pun. Bagaimana bisa kita temukan lalat kalau kebersihan selalu terjaga di semua tempat, bahkan di tempat yang biasanya paling kotor, toilet umum. Di tempat inilah saya lebih terkagum-kagum. Toilet di Jepang dilengkapi dengan kloset duduk modern dengan tombol-tombol serba otomatis. Hanya dengan menekan tombol yang ada, air hangat akan memancar membersihkan bagian tubuh kita setelah buang air kecil atau buang air besar sesuai dengan apa yang kita kehendaki. Yang lebih mengherankan, meskipun toilet umum di sana tidak pernah dijaga petugas, kebersihannya selalu terjaga, fasilitas pun selalu ada seperti berbagai macam tissue dan air bersih. Dengan demikian pemakai toilet umum selalu merasa nyaman, dan terpenuhi kebutuhannya, namun tidak pernah ditarik bayaran. Fasilitas semodern itu semuanya gratis.

Kebiasaan menjaga kebersihan dan kesehatan tampaknya sudah sangat melekat di hati masyarakat Jepang sehingga tercermin di berbagai dimensi kehidupan di Jepang. Apalagi budaya ini juga didukung dengan fasilitas yang lengkap dan sangat memadai. Di berbagai tempat umum selalu kita temukan tempat-tempat sampah khusus dengan petunjuk yang mudah dibaca. Misalnya, khusus untuk botol, koran/kertas, sampah lain, dan rokok serta abu rokok. Tempat-tempat sampah tersebut tidak pernah tampak penuh
apalagi sampai menggunung. Petugas kebersihan selalu mengambil sampah-sampah tepat waktu. Tidak pernah tampak di sana ada sampah berceceran walaupun di terminal atau di tempat umum lainnya. Tidak tampak juga ada orang yang membuang sampah sembarangan. Begitulah tingginya kesadaran masyarakat Jepang akan pentingnya menjaga kebersihan tanpa harus membaca banyak slogan kebersihan.

Begitu pun sarana air minum yang mengalir melalui kran-kran di segala tempat di Jepang. Kebersihan dan kesehatannya dijamin oleh pemerintah Jepang sehingga diumumkan “Safe to drink”, aman untuk diminum secara langsung. Kenyataannya memang sangat bersih dan aman karena saya mencoba berkali-kali minum air kran tidak pernah sakit perut ataupun terkena flu. Rasanya pun enak tanpa terganggu suatu bau seperti kaporit misalnya. Jepang memiliki sistem teknologi menciptakan air bersih yang aman tanpa bahan kimia yang berbau mencolok. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, di berbagai tempat umum seperti di pinggir jalan dan taman-taman kota, banyak tersedia kran-kran yang menghadap ke atas yang memang disediakan untuk minum. Siapa yang ingin minum, tinggal putar kran, tadahkan mulut di atas kran, rasa hauspun sirna.
Semua tempat makan dan minum di sana memenuhi standar kebersihan dan kesehatan. Tidak diizinkan orang berjualan makanan dan minuman dengan caranya sendiri. Jadi, jangan harap kita akan menjumpai penjaja makanan keliling, pedagang makanan kaki lima atau warung-warung tenda. Jika kita ingin membeli minuman atau rokok, di berbagai tempat telah disediakan mesin-mesin minuman dan rokok. Kita tinggal memasukkan uang dan menekan tombol, maka barang yang kita maksudkan akan keluar dengan otomatis, lengkap dengan uang kembaliannya, jika uang kita tidak pas. Begitulah mesin “penjual” yang selalu jujur, pintar dan tidak pernah berbohong.
Hukum yang selalu ditegakkan di Jepang juga membuat masyarakat tidak mau melanggarnya. Misalnya huhuman bagi orang yang merokok sambil berjalan dengan denda sebesar 30.000 yen (sekitar Rp 2.100.000,-). Perokok hanya diizinkan merokok di tempat-tempat khusus yang telah disediakan. Demikian pula hukuman bagi orang yang membuang sampah sembarangan atau mengotori tempat umum lainnya selalu diterapkan sesuai dengan ketentuan. Kenyataannya, tidak pernah kita jumpai tulisan, coretan, atau semprotan cat di tempat umum, di tembok, di toilet umum, jalan, bus, kereta api, apalagi di tembok atau fasilitas sekolah. Di bangku dan tembok sekolah tak ada sedikit pun coretan tinta, atau coretan putih tip-ex. Untuk menjamin kebersihan sebuah sekolah bahkan diterapkan juga aturan melepas sepatu di dalam sekolah dan menggantinya dengan sandal atau sepatu dalam yang bersih bersih bagi siapa saja yang masuk, termasuk para siswa. Sekolah menyediakan rak sepatu dan sandal bersih di bagian depan sekolah. Sebuah pemandangan baru yang tidak kita temukan di negeri kita.
Budaya menjaga kesehatan juga tampak pada kebiasaan makan masyarakat Jepang. Masyarakat Jepang sangat suka makanan serba mentah atau masakan segar setengah matang. Misalnya, sasimi, jenis makanan Jepang ikan dan udang mentah yang dibungkuskan pada sedikit nasi. Juga telur rebus setengah matang dan berbagai sayuran mentah yang dimakan dengan saus. Penyedap rasa, pemanis, atau pewarna makanan tidak lazim digunakan di sana. Masyakakat Jepang juga terbiasa minum teh dan kopi tanpa gula. Barangkali kebiasaan itulah yang membuat masyarakat Jepang dinyatakan sebagai bangsa di dunia yang memiliki umur harapan hidup paling lama.

Apa yang mesti kita renungkan?

Begitu hidupnya budaya bersih dan sehat di Negeri Sakura ini. Jika kita tengok dari sisi kehidupan beragama, sebagian besar masyarakat tidak menganut dan mengamalkan agama tertentu. Jadi sebagian besar dari mereka tentu tidak mengenal hadis “Kebersihan adalah sebagian dari iman”. Di sana juga tidak kita jumpai banyak slogan dan poster kebersihan. Kalau kita tengok dunia pendidikan di sana pun, kita tidak menemukan pelajaran agama, pendidikan moral, atau budi pekerti. Lalu, mengapa mereka memiliki budaya seluhur itu ? Jawabnya sangat sulit dicari.
Pertanyaan lain yang muncul, mungkinkah Indonesia, yang memiliki ribuan poster dan slogan kebersihan menjadi negeri yang bersih dan sehat seperti Jepang ? Jawabnya ada pada sanubari kita masing-masing. Jika setiap individu memiliki keinginan luhur mengamalkan slogan dan poster yang selalu kita lihat, mengamalkan nilai-nilai moral yang selama ini kita pelajari di bangku sekolah, atau nilai-nilai agama yang selama ini kita anut tentu kita tak terlalu tertinggal jauh oleh mereka. Mengubah perilaku bangsa ini secara keseluruhan memang sulit, namun setidaknya kita bisa mulai mewujudkan budaya bersih dan sehat dari 3S (dari sini, saya, dan sekarang). Artinya, kita bisa memulai dari lingkungan terkecil kita sendiri, memulai dari diri saya tanpa mempedulikan kebiasaan (buruk) orang lain, dan memulai menjaga kebersihan dan kesehatan sejak sekarang, tanpa ditunda.

Murwati Widiani
Peserta Wisata Kajian Pendidikan ke Jepang 2003 untuk Guru Berprestasi se-ASEAN

Minggu, 10 Mei 2009

Melongok Bilik Pemilihan Guru Berprestasi

MELONGOK BILIK PEMILIHAN GURU BERPRESTASI
Murwati Widiani *)

Pemilihan guru berprestasi merupakan program pemerintah rutin tahunan berupa lomba dan kompetisi para guru. Berbeda dengan berbagai jenis lomba guru lainnya, pemilihan guru berprestasi dilaksanakan secara bertahap mulai dari tingkat sekolah, kecamatan, kabupaten, provinsi, sampai tingkat nasional. Pelaksanaan di tingkat kabupaten pada bulan Juni, tingkat provinsi pada bulan Juli, dan tingkat nasional pada bulan Agustus dengan acara puncaknya mengikuti upacara bendera HUT RI di Istana Negara. Sebagai persiapan, tentu mulai bulan Mei, panitia maupun calon peserta sudah mulai disibukkan dengan berbagai kegiatan: penyusunan berbagai perangkat tes bagi panitia dan penyusunan perangkat portofolio dan bukti prestasi bagi pendaftar.
Banyak guru yang ditunjuk dan dipilih oleh satuan pendidikan untuk mengikuti seleksi guru berprestasi, namun banyak di antara mereka yang belum begitu memahami kriteria dan kiat-kiat berkompetisi dalam ajang tersebut. Akibatnya, sebagian peserta kurang mempersiapkan diri secara optimal, maju hanya untuk memenuhi perintah atasan, atau sekadar maju sebagai “penggembira”.

Penghargaan bagi Guru Berprestasi
Secara historis, pemilihan guru berprestasi merupakan pengembangan dari pemilihan guru teladan yang berlangsung sejak tahun 1972 sampai dengan tahun 1997. Tahun 1998 sampai dengan 2001, pemilihan guru teladan dilaksanakan hanya sampai tingkat provinsi. Mulai tahun 2002 istilah guru teladan diganti dengan guru berprestasi. Jadi, kedua istilah tersebut sebenarnya sama, namun predikat guru berprestasi lebih menonjolkan unsur prestasi secara profesional. Walaupun demikian, bukan berarti guru berprestasi lepas dari aspek keteladanan.
Ada beberapa hal yang perlu diketahui dan dipahami oleh peserta pemilihan guru berprestasi. Pemilihan Guru Berprestasi dimaksudkan pemerintah untuk memberi dorongan motivasi, dedikasi, loyalitas, dan profesionalisme guru yang diharapkan akan berpengaruh positif pada kinerja dan prestasi kerjanya (Depdiknas, 2009). Selain itu, ajang kompetisi ini dilaksanakan dalam rangka memberikan perhatian dan penghargaan kepada para guru. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 14 tahun 2005, pasal 36 ayat (1) “Guru yang berprestasi, berdedikasi luar biasa, dan / atau bertugas di daerah khusus berhak memperoleh penghargaan”.
Secara nyata, pemerintah telah memberikan penghargaan yang cukup layak bagi mereka yang terpilih sebagai guru berprestasi tingkat nasional. Bahkan berbagai sponsor pun turut memberikan berbagai hadiah. Sebagai gambaran, pada tahun 2008, peserta yang sempat menjadi finalis di tingkat nasional yang tidak juara mendapatkan imbal prestasi sebesar Rp 15.000.000,00 plus asuransi Bumi Putra sebesar Rp 5.000.000,00. Penghargaan bagi yang juara tentu lebih banyak. Selain hadiah, guru berprestasi juga akan tercatat dalam “album” guru berprestasi yang suatu saat akan diikutkan dalam berbagai workshop tingkat nasional, program kunjungan ke luar negeri, beasiswa melanjutkan kuliah ke S2, beasiswa untuk anak, bahkan suatu saat dapat memperoleh anugerah Satyalancana Pendidikan dari Presiden jika mereka dapat mempertahankan prestasinya.

Kriteria Penilaian Guru Berprestasi
Syarat pokok yang harus dipenuhi oleh peserta pemilihan guru berprestasi adalah: (1) guru pegawai negeri sipil (PNS) maupun non-PNS serta tidak sedang mendapat tugas sebagai kepala sekolah; (2) memiliki masa kerja sekurang-kurangnya delapan tahun; (3) memiliki bukti prestasi yang ditulis dalam bentuk karya tulis/laporan yang disahkan oleh kepala sekolah dan direkomendasi oleh komite sekolah; (4) memiliki bukti partisipasi dalam kemasyarakatan berupa surat keterangan atau bukti fisik lain yang disahkan oleh kepala sekolah; (5) menyusun portofolio; (6) mempunyai beban kerja sekurang-kurangnya 24 jam per minggu atau ekuivalen. Guru-guru yang pernah meraih juara I, II, dan III tingkat nasional tidak diperkenankan mengikuti program ini. Guru-guru yang meraih predikat guru berprestasi peringkat I, II, dan III tingkat provnsi dapat mengikuti program ini setelah 5 tahun.
Ada tiga kriteria yang menjadi acuan penilaian dalam pemilihan guru berprestas, yakni (1) unggul/mumpuni dilihat dari kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional, (2) menghasilkan karya kreatif dan inovatif, dan (3) secara langsung membimbing peserta didik hingga mencapai prestasi di bidang intrakurikuler dan / atau ekstrakurikuler.
Kompetensi pedagogik dinilai dari tingkat pemahaman guru terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Memahami peserta didik artinya mampu memanfaatkan prinsip-prinsip perkembangan kognitif dan kepribadian peserta didik, serta mengidentifikasi bekal ajar awal peserta didik. Merancang pembelajaran artinya memahami landasan kependidikan, menerapkan teori belajar dan pembelajaran, menentukan strategi pembelajaran berdasarkan karakteristik peserta didik, kompetensi yang ingin dicapai, dan materi ajar, serta menyusun rancangan pembelajaran berdasarkan strategi yang dipilih. Melaksanakan pembelajaran artinya menata latar / setting pembelajaran, dan melaksanakan pembelajaran yang kondusif. Merancang dan melaksanakan evaluasi pembelajaran memiliki indikator merancang dan melaksanakan evaluasi proses dan hasil belajar secara berkesinambungan dengan berbagai metode, menganalisis hasil evaluasi untuk menentukan ketuntasan belajar (mastery learning), dan memanfaatkan hasil penilaian untuk memperbaiki kualitas pembelajaran. Adapun pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensinya adalah memfasilitasi peserta didik untuk mengembangkan potensi akademik dan nonakademik.
Kompetensi kepribadian tercermin dari kemampuan personal, berupa kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat, serta berakhlak mulia. Kepribadian yang mantap dan stabil artinya bertindak sesuai dengan norma hukum dan norma sosial, bangga sebagai guru, dan memiliki konsistensi dalam bertindak. Dewasa artinya menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagai pendidik dan memiliki etos kerja sebagai guru. Arif artinya menampilkan tindakan yang didasarkan pada kemanfaatan peserta didik, sekolah, dan masyarakat serta menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak. Berwibawa artinya memiliki perilaku yang berpengaruh positif terhadap peserta didik dan disegani. Adapun berakhlak mulia berarti bertindak sesuai dengan norma religius (iman dan takwa, jujur, ikhlas, suka menolong), dan memiliki perilaku yang diteladani siswa. Pada penilaian tertulis, soal tes kepribadian antara lain berupa tes potensial akademik (TPA) yang meliputi kemampuan verbal dan kemampuan matematis.
Kompetensi sosial tercermin dari kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Selain dengan melihat bukti fisik pada portofolio, kompetensi sosial juga dinilai dengan tes tertulis berupa tes kompetensi sosial, seperti tes skala sikap.
Kompetensi profesional tercermin dari tingkat penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam, yang mancakup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materinya, serta penguasaan terhadap struktur dan metodolgi keilmuannya. Menguasai substansi keilmuan yang terkait dengan bidang studi artinya memahami materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah, memahami struktur, konsep, dan metode keilmuan yang manaungi atau koheren dengan materi ajar, memahami hubungan konsep antarmata pelajaran terkait, dan menerapkan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun menguasai struktur dan metode keilmuan berarti menguasai langkah-langkah penelitian dan kajian kritis untuk memperdalam pengetahuan / materi bidang studi. Untuk guru SMP dan SMA/K, penilaian kompetensi profesional berupa soal tes sesuai dengan bidang studi yang diampunya.
Kriteria kedua guru berprestasi adalah menghasilkan karya kreatif dan inovatif. Kegiatan ini meliputi:
1. Pembaruan (inovasi) dalam pembelajaran atau bimbingan
2. Penemuan teknologi tepat guna dalam bidang pendidikan
3. Penulisan buku fiksi / nonfiksi di bidang pendidikan atau sastra Indonesia dan sastra daerah
4. Penciptaan kaya seni
5. Bidang olahraga
Adapun kriteria ketiga guru berprestasi adalah membimbing peserta didik hingga mencapai prestasi, baik di bidang intrakurikuler maupun ekstrakurikuler. Kriteria ketiga ini dapat dipahami bahwa seorang peserta pemilihan guru berprestasi dinilai dengan melihat prestasi yang dimiliki peserta didik. Dalam bidang intrakurikuler misalnya nilai akademik yang tinggi, olimpiade berbagai ilmu, dan berbagai lomba yang berkaitan dengan bidang akademik, sedangkan bidang ekstrakurikuler adalah prestasi nonakademik, seperti prestasi di bidang olahraga, seni, dan berbagai keterampilan.
Semua aspek penilaian guru berprestasi dinilai melalui tes tertulis, unjuk kerja, wawancara, portofolio, dan observasi. Aspek dan cara penilaian pada setiap jenjang tampak pada tabel berikut.
No Aspek

Tingkat Kinerja Karya Kreatif / Inovatif Hasil
Pembimbingan
Profesional Pedagogik Kepribadian Sosial
TT UK WW PF TT UK WW PF TT WW OB TT WW OB OB UK WW PF OB UK WW PF
1 Sekolah √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
2 Kecamatan √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
3 Kabupaten √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
4 Provins √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
5 Nasional √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Keterangan:
1. TT = Tes Tertulis
2. UK = Unjuk Kerja
3. WW = Wawancara
4. PF = Portofolio
5. OB = Observasi

Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa penilaian pada setiap tingkat pemilihan guru berprestasi (sekolah, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan nasional), mencakup semua faktor, namun aspek penilaian tidak selalu sama. Begitu pula cara atau alat penilaian yang digunakan.
Kiat Sukses dalam Pemilihan Guru Berprestasi
Pada proses penilaian, seorang peserta pemilihan guru berprestasi akan dinilai dari berbagai aspek dengan berbagai cara penilaian. Berdasarkan pengalaman penulis mengikuti seleksi, juga pengalaman sebagai juri di tingkat kabupaten dan provinsi, pada tes tertulis, terkadang waktu yang disediakan sempit, khususnya untuk tes kepribadian bentuk tes potensial akademik. Oleh karena itu, kecepatan berpikir, strategi menjawab soal, dan manajemen waktu sangat diperlukan.
Pada tes unjuk kerja, guru dituntut untuk bersimulasi praktik mengajar, terkadang berupa kegiatan berdiskusi mengenai topik tertentu yang disediakan panitia, dan presentasi karya tulis ilmiah (karya kreatif dan inovatif). Di tingkat provinsi DIY khususnya, unjuk kerja juga berupa kemampuan dalam menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK): membuat presentasi dengan komputer berdasarkan makalah yang disediakan dan mencari bahan ajar melalui internet. Oleh karena itu, perdalam pengetahuan dan keterampilan dalam bidang TIK.
Pada tes wawancara, seorang peserta akan diwawancarai oleh seorang juri dalam setiap aspek. Namun, dapat juga seorang peserta dihadapi oleh beberapa orang juri sekaligus. Dalam tes wawancara ini, peserta akan diuji kemamuannya menyampaikan ide, pendapat, wawasan dan pengetahuan yang dimiliki secara lisan. Penguasaan materi wawancara, alur pikir, rasa percaya diri, dan kemampuan berkomunikasi lisan akan banyak berpengaruh terhadap penilaian tes jenis ini. Banyak peserta yang menjawab pertanyaan dengan panjang dan bertele-tele untuk memperlihatkan kemampuannya, namun sebenarnya justru mengurangi penilaian karena jawaban tidak tepat pada sasaran.
Uji portofolio akan dinilai dari segi kuantitas dan kualitas. Dari segi kuantitas, penilai akan menghitung banyaknya prestasi, karya, dan berbagai bukti fisik kegiatan profesional, pedagogik, karya kreatif dan inovatif, serta kegiatan pembimbingan. Semakin banyak tentu semakin tinggi nilainya. Namun, hal ini akan dikombinasikan dengan penilaian segi kualitas portofolio. Dari segi kualitas, penilai juga akan mempertimbangkan mutu karya, orisinalitas, dan manfaat. Belum tentu portofolio yang tebal akan memiliki nilai yang lebih tinggi daripada portofolio yang tipis. Namun, untuk mendapatkan nilai maksimal, kedua hal tersebut harus diperhitungkan dalam menyusun portofolio. Prinsipnya, jangan sampai ada prestasi dan karya yang tertinggal atau tidak diikutkan dalam penilaian.
Penilaian observasi dilakukan untuk menilai kompetensi kepribadian dan sosial. Peserta di tingkat kabupaten atau provinsi, khususnya yang menjadi nominasi, akan didatangi tempat tinggalnya tanpa sepengetahuan peserta. Tim penilai akan mengobservasi dan mencari informasi melalui tetangga tentang kepribadian dan peran sosialnya di masyarakat. Jadi, seorang nominasi yang akan ditetakan sebagai juara, harus memiliki nilai plus pada unsur tersebut. Oleh karena itu, seandainya ada peserta yang memiliki nilai sangat tinggi dalam tes lain, namun jika hasil observasi menunjukkan bahwa yang bersangkutan kurang memiliki kepribadian dan peran sosial yang layak, maka batallah dia menjadi juara. Inilah unsur keteladanan yang masih dipertahakan meskipun predikat guru teladan sudah berganti menjadi guru berprestasi.

Jika Anda telah terpilih atau akan mengikuti pemilihan guru berprestasi, siapkan berbagai aspek yang dinilai seoptimal mungkin, kerahkan berbagai potensi yang Anda miliki. Namun, janganlah terlalu berambisi untuk menjadi juara karena sikap ini justru akan berefek merugikan, yakni kurang tenang dalam mengikuti seleksi dan akan terpancar pada penampilan yang tentu tidak akan luput dari bidikan penilaian kepribadian yang dilakukan para juri. Guru yang belum memperoleh kesempatan mengikuti seleksi guru berprestasi karena belum ditunjuk kepala sekolah, berupayalah untuk meningkatkan profesonalisme dengan terus berkarya, berdedikasi, dan menjadi pengabdi dan pelayan yang baik bagi peserta didik, satuan pendidikan, dan masyarakat. Hasil akhirnya tentu saja bukan semata untuk menjadi guru berprestasi karena pada hakikatnya predikat guru berprestasi sebenarnya bukanlah predikat yang diperjuangkan, namun lebih sebagai bentuk penghargaan.

*)Murwati Widiani, Guru SMA Muhammadiyah Pakem Sleman,
Pemenang I Pemilihan Guru Berpretasi Tingkat Nasional 2002,
Anggota Tim Juri Pemilihan Guru Berprestasi