Senin, 11 Mei 2009

Kota Bersih Tanpa Slogan Kebersihan

Sebuah Catatan Perjalanan ke Jepang
Murwati Widiani
Kedaulatan Rakyat, 19 Oktober 2003

Melakukan perjalanan Wisata Kajian Pendidikan ke Jepang atas undangan dari The Japan Foundation selama dua pekan (September 2003) sungguh meninggalkan kesan yang mendalam. Ada rasa nyaman dan ingin tinggal di sana lebih lama karena ada banyak hal yang menarik dan tidak ditemui di negeri lain. Satu di antaranya adalah hidupnya budaya bersih dan sehat.

Pertama kali, kaki mulai menginjak tanah Jepang, satu pesan menantang yang disampaikan Pak Ceppy, guru bahasa Jepang yang membekali kami sebelum berangkat, mulai tergambar. “Silakan bawa lalat Jepang ke sini kalau ada !”, begitu beliau berpesan ketika menggambarkan betapa bersihnya Jepang. Hari demi hari, mulai dari kota Tokyo, Hiroshima, Kyoto, Miyako, Osaka, Niigata, saya tidak bertemu seekor lalat pun. Bagaimana bisa kita temukan lalat kalau kebersihan selalu terjaga di semua tempat, bahkan di tempat yang biasanya paling kotor, toilet umum. Di tempat inilah saya lebih terkagum-kagum. Toilet di Jepang dilengkapi dengan kloset duduk modern dengan tombol-tombol serba otomatis. Hanya dengan menekan tombol yang ada, air hangat akan memancar membersihkan bagian tubuh kita setelah buang air kecil atau buang air besar sesuai dengan apa yang kita kehendaki. Yang lebih mengherankan, meskipun toilet umum di sana tidak pernah dijaga petugas, kebersihannya selalu terjaga, fasilitas pun selalu ada seperti berbagai macam tissue dan air bersih. Dengan demikian pemakai toilet umum selalu merasa nyaman, dan terpenuhi kebutuhannya, namun tidak pernah ditarik bayaran. Fasilitas semodern itu semuanya gratis.

Kebiasaan menjaga kebersihan dan kesehatan tampaknya sudah sangat melekat di hati masyarakat Jepang sehingga tercermin di berbagai dimensi kehidupan di Jepang. Apalagi budaya ini juga didukung dengan fasilitas yang lengkap dan sangat memadai. Di berbagai tempat umum selalu kita temukan tempat-tempat sampah khusus dengan petunjuk yang mudah dibaca. Misalnya, khusus untuk botol, koran/kertas, sampah lain, dan rokok serta abu rokok. Tempat-tempat sampah tersebut tidak pernah tampak penuh
apalagi sampai menggunung. Petugas kebersihan selalu mengambil sampah-sampah tepat waktu. Tidak pernah tampak di sana ada sampah berceceran walaupun di terminal atau di tempat umum lainnya. Tidak tampak juga ada orang yang membuang sampah sembarangan. Begitulah tingginya kesadaran masyarakat Jepang akan pentingnya menjaga kebersihan tanpa harus membaca banyak slogan kebersihan.

Begitu pun sarana air minum yang mengalir melalui kran-kran di segala tempat di Jepang. Kebersihan dan kesehatannya dijamin oleh pemerintah Jepang sehingga diumumkan “Safe to drink”, aman untuk diminum secara langsung. Kenyataannya memang sangat bersih dan aman karena saya mencoba berkali-kali minum air kran tidak pernah sakit perut ataupun terkena flu. Rasanya pun enak tanpa terganggu suatu bau seperti kaporit misalnya. Jepang memiliki sistem teknologi menciptakan air bersih yang aman tanpa bahan kimia yang berbau mencolok. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, di berbagai tempat umum seperti di pinggir jalan dan taman-taman kota, banyak tersedia kran-kran yang menghadap ke atas yang memang disediakan untuk minum. Siapa yang ingin minum, tinggal putar kran, tadahkan mulut di atas kran, rasa hauspun sirna.
Semua tempat makan dan minum di sana memenuhi standar kebersihan dan kesehatan. Tidak diizinkan orang berjualan makanan dan minuman dengan caranya sendiri. Jadi, jangan harap kita akan menjumpai penjaja makanan keliling, pedagang makanan kaki lima atau warung-warung tenda. Jika kita ingin membeli minuman atau rokok, di berbagai tempat telah disediakan mesin-mesin minuman dan rokok. Kita tinggal memasukkan uang dan menekan tombol, maka barang yang kita maksudkan akan keluar dengan otomatis, lengkap dengan uang kembaliannya, jika uang kita tidak pas. Begitulah mesin “penjual” yang selalu jujur, pintar dan tidak pernah berbohong.
Hukum yang selalu ditegakkan di Jepang juga membuat masyarakat tidak mau melanggarnya. Misalnya huhuman bagi orang yang merokok sambil berjalan dengan denda sebesar 30.000 yen (sekitar Rp 2.100.000,-). Perokok hanya diizinkan merokok di tempat-tempat khusus yang telah disediakan. Demikian pula hukuman bagi orang yang membuang sampah sembarangan atau mengotori tempat umum lainnya selalu diterapkan sesuai dengan ketentuan. Kenyataannya, tidak pernah kita jumpai tulisan, coretan, atau semprotan cat di tempat umum, di tembok, di toilet umum, jalan, bus, kereta api, apalagi di tembok atau fasilitas sekolah. Di bangku dan tembok sekolah tak ada sedikit pun coretan tinta, atau coretan putih tip-ex. Untuk menjamin kebersihan sebuah sekolah bahkan diterapkan juga aturan melepas sepatu di dalam sekolah dan menggantinya dengan sandal atau sepatu dalam yang bersih bersih bagi siapa saja yang masuk, termasuk para siswa. Sekolah menyediakan rak sepatu dan sandal bersih di bagian depan sekolah. Sebuah pemandangan baru yang tidak kita temukan di negeri kita.
Budaya menjaga kesehatan juga tampak pada kebiasaan makan masyarakat Jepang. Masyarakat Jepang sangat suka makanan serba mentah atau masakan segar setengah matang. Misalnya, sasimi, jenis makanan Jepang ikan dan udang mentah yang dibungkuskan pada sedikit nasi. Juga telur rebus setengah matang dan berbagai sayuran mentah yang dimakan dengan saus. Penyedap rasa, pemanis, atau pewarna makanan tidak lazim digunakan di sana. Masyakakat Jepang juga terbiasa minum teh dan kopi tanpa gula. Barangkali kebiasaan itulah yang membuat masyarakat Jepang dinyatakan sebagai bangsa di dunia yang memiliki umur harapan hidup paling lama.

Apa yang mesti kita renungkan?

Begitu hidupnya budaya bersih dan sehat di Negeri Sakura ini. Jika kita tengok dari sisi kehidupan beragama, sebagian besar masyarakat tidak menganut dan mengamalkan agama tertentu. Jadi sebagian besar dari mereka tentu tidak mengenal hadis “Kebersihan adalah sebagian dari iman”. Di sana juga tidak kita jumpai banyak slogan dan poster kebersihan. Kalau kita tengok dunia pendidikan di sana pun, kita tidak menemukan pelajaran agama, pendidikan moral, atau budi pekerti. Lalu, mengapa mereka memiliki budaya seluhur itu ? Jawabnya sangat sulit dicari.
Pertanyaan lain yang muncul, mungkinkah Indonesia, yang memiliki ribuan poster dan slogan kebersihan menjadi negeri yang bersih dan sehat seperti Jepang ? Jawabnya ada pada sanubari kita masing-masing. Jika setiap individu memiliki keinginan luhur mengamalkan slogan dan poster yang selalu kita lihat, mengamalkan nilai-nilai moral yang selama ini kita pelajari di bangku sekolah, atau nilai-nilai agama yang selama ini kita anut tentu kita tak terlalu tertinggal jauh oleh mereka. Mengubah perilaku bangsa ini secara keseluruhan memang sulit, namun setidaknya kita bisa mulai mewujudkan budaya bersih dan sehat dari 3S (dari sini, saya, dan sekarang). Artinya, kita bisa memulai dari lingkungan terkecil kita sendiri, memulai dari diri saya tanpa mempedulikan kebiasaan (buruk) orang lain, dan memulai menjaga kebersihan dan kesehatan sejak sekarang, tanpa ditunda.

Murwati Widiani
Peserta Wisata Kajian Pendidikan ke Jepang 2003 untuk Guru Berprestasi se-ASEAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar