Senin, 08 April 2013

MENJADI GURU SEJATI



 Pendahuluan
 
”... Engkau sebagai pelita dalam kegelapan. Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan. Engkau patriot pahlawan bangsa ... tanpa tanda jasa.”
      Begitulah sepenggal pujian dalam lagu ”Hymne Guru” yang sering dilantunkan oleh siswa pada acara perpisahan, pada peringatan Hardiknas, atau hari Guru. Lagu bernada andante dengan lirik yang mengharukan dan membuat guru menjadi ”tersanjung” saat dikumandangkan sebenarnya memiliki dua mata pisau yang berlainan. Di satu sisi, lagu itu dapat membuat guru berbangga hati dan terharu karena guru didudukkan dalam posisi yang sangat berperan bagi siswa. Guru adalah pelita dalam kegelapan, embun penyejuk dalam kehausan. Itulah guru, menerangi dengan ilmunya sekaligus menyejukkan dengan perannya sebagai pembimbing, pengayom, dan penolong siswa dalam menghadapi berbagai permasalahan yang dihadapinya. Namun, di sisi lain lagu itu juga menuntut guru yang memiliki kepekaan hati untuk mawas diri, merefleksi diri, dan merenungkan ”Sudahkah saya seperti pelita sekaligus embun?”
    Dua kiasan itu sebenarnya dapat dimaknai bahwa seorang guru haruslah ”cerdas dan kreatif” serta ”berhati emas”. Jika dikaitkan dengan tuntutan formal, dalam menjalankan tugasnya, guru harus memiliki berbagai kompetensi. Seperti yang diamanatkan dalam Permendiknas No 14 tahun 2007, ada 4 kompetensi yang harus dikuasai guru: kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Saya menerjemahkan, guru sebagai ”pelita” terkait dengan penguasaan kompetensi pedagogik dan profesional. Adapun guru sebagai ”embun” terkait dengan penguasaan kompetensi kepribadian dan sosial. Untuk menjadi guru sejati, peran dan kompetensi tersebut haruslah dikuasai secara utuh.
  Bagaimanakah upaya menjadi guru sejati? Inilah beberapa tips yang ditulis berdasarkan pengalaman empiris, ditambah teori yang dikaji dari beberapa sumber. Semoga dapat menjadi bahan diskusi sehingga dapat disempurnakan, lalu dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai guru.
Bangga dan Bersyukur menjadi Guru
        Hal pertama kali yang harus ditumbuhkan dalam hati guru adalah rasa bangga menjadi guru. Banyak guru yang ”terpaksa” menjadi guru karena tuntutan orang tua yang kurang mampu atau karena (dulu) tidak diterima di perguruan tinggi lain yang bukan keguruan. Adanya cibiran bagi guru dengan menggambarkannya sebagai ”Oemar Bakri” yang ke mana-mana mengendarai sepeda butut dengan gaji kecil, turut memberikan andil dalam membuat guru menjadi rendah diri. Selain itu, banyak anak kecil yang ketika ditanya, ”Apa cita-citamu?”, menjawab bukan menjadi guru, melainkan dokter, arsitek, dan profesi lain. Itu menunjukkan bahwa profesi guru kurang diminati.
        Di sisi lain, sebenarnya guru merupakan sosok yang disegani dan dihormati. Dia tidak hanya menyampaikan materi yang diamanatkan kurikulum, tetapi juga menjadi suri teladan yang menjadi panutan. Rustamaji (2002:7) mengatakan bahwa guru di beberapa tempat dipanggil dengan ”Mas Guru”, sebutan untuk seseorang yang dianggap memiliki banyak pengetahuan dan dapat menggunakan ilmu tersebut untuk kebaikan orang lain. Sering pula dipanggil dengan ”Mas Mantri”, sebutan yang lebih sering diberikan kepada petugas kesehatan desa yang dapat menyuntik untuk mengobati orang lain.
         Itulah guru, gambaran sosok serba bisa, bisa digugu dan ditiru. Maka banggalah dan bersyukurlah menjadi guru. Dengan kebanggaan (bukan kesombongan) seorang guru akan mantap dalam bekerja, percaya diri, dan suka belajar untuk mengembangkan dirinya sebagai guru. Dengan bersyukur, banyak kenikmatan yang akan diraih. Sebagaimana firman Allah dalam QS Ibrahim ayat 7:
لَشَدِيدٌ عَذَابِي إِنَّ كَفَرْتُمْ وَلَئِنْ لَأَزِيدَنَّكُمْ شَكَرْتُمْ لَئِنْ

"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".
Rasa syukur seorang guru dapat diwujudkan dengan sikap sabar, telaten, dan ikhlas. Sebaliknya, tidak dapat dikatakan bersyukur guru banyak mengeluh dan tidak sabar ketika menghadapi anak-anak yang ”agak kurang”, sering menunda pekerjaan, sering terlambat, dan meninggalkan pekerjaan tanpa alasan. Muhammad Furqon Hidayatullah menjelaskan bahwa perwujudan bersyukur sebagai pendidik adalah: (1) menerima secara positif profesi guru, (2) tidak dhalim terhadap profesi guru, dan (3) mengembangkan profesi guru.

Menyapa Para Siswa
        Salah satu kompetensi yang harus dikembangkan guru adalah kompetensi sosial. Inti dari kompetensi sosial adalah mampu berkomunikasi. Komunikasi utama yang pertama harus dijalin adalah dengan siswa. Bersikap ramah, penyabar, penuh perhatian, murah pujian adalah beberapa contoh sifat yang mendukung komunikasi secara efektif dengan para siswa.
         Ramah dan sabar adalah sifat guru yang didambakan para siswa. Guru tidak perlu merasa harus disapa terlebih dahulu. Salam dan sapalah mereka ketika kita memang datang lebih akhir. Jawablah salam mereka juga dengan ramah. Hadapi siswa dengan sabar. Jangan sampai guru melontarkan kata-kata yang menyakiti siswa (dalam istilah psikologi disebut sebagai kekerasan psikis). Apalagi bertindak menyakiti badan dengan menjewer, mencubit, atau memukul, atau melakukan kekerasan fisik lainnya.
        Rasa penuh perhatian terhadap siswa terwujud dari bentuk komunikasi sehari-hari. Kenali dan hafalkan nama-nama mereka sampai nama-nama panggilannya. Guru dapat menanyakan dan menuliskan nama panggilan mereka di belakang daftar presensi ketika pertama kali mengajar. Siswa atau siapa pun yang dipanggil dengan nama panggilannya, nama akrabnya, akan merasa lebih dekat. Syukur-syukur kenali latar belakang keluarganya, alamat rumahnya, dan hobi atau kesukaannya.
      Memberi pujian merupakan cara yang sangat murah untuk menghargai pada siswa. Walaupun tanpa modal, masih banyak guru yang ’pelit’ pujian. Pada umumnya, guru-guru di PAUD atau taman kanak-kanak lebih sering memberikan pujian pada siswanya. Mereka sangat sering mengeluarkan kalimat ”Iya, bagus.”, ”Pinter.”, atau ”Tepuk tangan, anak-anak...”. Dalam sehari mungkin bisa ratusan kali kalimat-kalimat itu dilontarkan. Di sekolah dasar, pujian itu sudah berkurang. Di SMP lalu SMA pujian semakin berkurang. Ada guru yang beranggapan bahwa pujian hanya pantas diberikan kepada anak kecil, atau beranggapan bahwa pujian bersifat kekanak-kanakan. Padahal sebenarnya, orang dewasa, bahkan orang tua pun memerlukan pujian untuk membangun motivasi diri.

Jadilah Guru Kreatif
          Sebelum membantu siswa untuk menjadi pribadi yang kreatif, jadilah guru yang kreatif terlebih dahulu. Mengapa guru harus kreatif? Hernowo (2007:7) menulis:
Apabila seorang guru tidak kreatif, kehidupan itu akan ”mati” - tidak ada lagi yang baru. Bayangkan jika kehidupan yang mati itu menular ke kehidupan yang lain yang mengglobal? Guru harus kreatif karena guru yang kreatif akan menjadikan kehidupan itu sangat kaya dan bervariasi. Guru yang tidak kreatif akan menjadikan kehidupan ini membosankan, monoton, dan tidak bermakna.
Dalam ungkapan Hernowo tersirat makna bahwa guru yang kreatif akan membangkitkan kehidupan atau secara lebih khusus iklim pembelajaran di kelas yang kondusif. Sebaliknya, jika kelas menjadi mati, siswa menjadi bosan, itu adalah karena gurunya kurang kreatif. Guru kreatif akan selalu mengubah-ubah ”penampilannya” di kelas. Jika hari ini, jam ini, materi ini, dia menggunakan teknik cooperative learning misalnya, dia akan menggunakan teknik lain pada hari lain dengan materi lain. Guru kreatif bukan guru biasa yang tiap masuk kelas hanya membawa buku pelajaran, buku kerja guru, dan seperangkat alat tulis. Dia akan memanfaatkan berbagai media, bahkan barang-barang bekas, seperti tali rafia, kardus, atau lainnya, apa pun pelajarannya. Lihatlah ekspresi siswa ketika guru masuk kelas dengan ”tampilan dan benda” yang berbeda dengan biasanya. Pasti semua mata akan tertuju kepada sang guru layaknya menonton artis panggung yang menjadi idola.
Guru kreatif akan menggunakan metode dan model pembelajaran yang sesuai. Dalam Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses, dikemukakan bahwa metode pembelajaran digunakan oleh guru untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mencapai kompetensi dasar atau seperangkat indikator yang telah ditetapkan. Pemilihan metode pembelajaran disesuaikan dengan situasi dan kondisi peserta didik serta karakteristik dari setiap indikator dan kompetensi yang hendak dicapai pada setiap mata pelajaran.
Adapun model pembelajaran adalah bentuk pembelajaran yang menggambarkan kegiatan dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. (http://www.psb- psma.org). Model pembelajaran juga dapat diartikan sebagai rencana yang memperlihatkan pola pembelajaran tertentu (terlihat kegiatan guru-siswa), dan sumber belajar yang digunakan kondisi belajar atau sistem lingkungan yang menyebabkan terjadinya belajar pada peserta didik. Dalam model pembelajaran terdapat strategi pencapaian kompetensi peserta didik dengan pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran tertentu. Guru dapat menggunakan model pembelajaran ciptaannya sendiri atau menerapkan model pembelajaran yang sudah ada teorinya. Berbagai model pembelajaran misalnya: jigsaw (model tim ahli), problem based instruction (pembelajaran berdasarkan masalah), mind mapping, make - a match (mencari pasangan), role playing, tebak kata.
Guru adalah kreator proses pembelajaran (Zamroni, 2003: 74). Artinya, akan menjadi pertunjukan apa pun sebuah proses pembelajaran di kelas, tergantung pada guru. Guru kreatif akan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Bobbi DePorter dan Mike Hernacki (1999:24) mengemukakan teori Quantum Learning. Mulanya, quantum learning berakar dari upaya Georgi Lozanov yang bereksperimen tentang ”suggestology”. Prinsipnya, sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar. Berbagai teknik dapat digunakan untuk memberikan sugesti positif seperti mendudukkan siswa secara nyaman, pemberian penghargaan, atau pemunculan suasana kegembiraan.   
Dalam menciptakan pembelajaran yang menyenangkan, guru juga dapat memanfaatkan berbagai potensi yang dimilikinya dan dimiliki sekolah. Guru yang memiliki kelebihan dalam bercerita secara menarik misalnya, dapat menggunakannya untuk memotivasi siswa atau membantu pencapaian kompetensi, dengan cerita-cerita yang relevan tentunya. Manfaatkan juga fasilitas yang dimiliki sekolah, seperti fasilitas TIK, alat peraga, dan sebagainya.
Guru kreatif juga peduli dengan hal-hal yang disukai siswa. Dia peka terhadap perubahan yang dialami siswa, juga mengetahui hal-hal yang sedang menjadi ”tren” bagi siswa. Jika ingin menjadi guru yang disukai siswa, jangan paksakan siswa untuk memasuki dunia guru, tetapi masuklah kita ke dunia mereka. Pada era global seperti sekarang, siswa sangat akrab dengan berbagai fasilitas teknologi informasi dan komunikasi yang canggih, seperti hand phone dan internet dengan berbagai fasilitas yang dapat diakses. Bagaimanakah sikap guru sebaiknya? Guru tidak perlu ketakutan dengan kekhawatiran-kekhawatiran yang belum tentu terjadi. Jika guru mampu mengarahkan, mengelola, atau memanfaatkannya dengan baik, jadilah fasilitas tersebut sebagai media belajar yang menyenangkan. Penulis pernah mencoba memanfaatkan HP, face book, dan e-mail untuk pembelajaran. Sebagai contoh dalam pembelajaran berbalas pantun, guru memberi tugas siswa untuk menulis dan mengirimkan tugas menulis pantun lebaran. Hasilnya sungguh menggembirakan. Siswa tidak hanya memenuhi tugas dan perintah guru demi nilai, tetapi mereka menikmati tugas itu sebagai alat bersilaturahmi, bercanda, sekaligus berkreasi. Berikut ini salah satu pantun yang dikirim melalui SMS.
Ekananda Asmara, XII IPA (HP 085238871444):
Ke Lamongan bareng Nanda
Naik mobil berbahan bakar bensin
Ini pantun lebaran, Bunda...
Mohon maaf lahir dan batin

Balasan dari guru:
Dari Lamongan naik kuda
Bertopi biru berkalung sorban
Terima kasih Ekananda
Pantun kamu sungguh menawan

          Tugas menulis pantun yang sebenarnya ditargetkan hanya satu bait, ternyata dibalas lagi oleh siswa setelah menerima balasan SMS dari guru.
Naik pesawat melewati awan
Dari kaca terlihat hamparan
Tidaklah terlalu menawan
Serangkaian kata keluar dari pikiran

Menulislah
          Langkah selanjutnya setelah menjadi guru yang kreatif adalah menulis. Menulis bagi guru pada hakikatnya adalah mendokumentasikan berbagai peristiwa pembelajaran yang diperankannya. Sangat disayangkan, seorang guru yang telah melaksanakan pembelajaran dengan kreatif dan inovatif, tetapi tidak mendokumentasikannya dalam tulisan. Dengan menulis guru akan memperoleh manfaat dan keuntungan ganda, yakni: (1) Segala hal yang telah dirancang dan dilaksanakan dapat diabadikan sehingga guru memiliki bukti nyata dari kegiatan pengembangan profesinya, (2) Guru dapat berbagi pengalaman dengan teman sejawat, baik di lingkungan sekolahnya maupun di sekolah lainnya, (3) Dengan tulisan, guru dapat menyumbangkan ilmu kepada siapa pun yang nantinya akan memanfaatkannya secara teoretis maupun praktis, (4) Guru dapat memperoleh kredit point dalam proses sertifikasi, imphasing sertifikasi, atau kenaikan pangkat bagi yang berstatus PNS, (5) Jika tulisan dimuat di media massa atau dilombakan dan mendapat juara, akan menambah koin yang insya Allah dapat turut mengangkat harkat dan martabat guru.
Betapa banyaknya manfaat yang dapat diraih jika kita mau dan mampu menulis. Namun, dalam kenyataan guru memang sering berbenturan dengan berbagai kendala yang cukup serius sehingga menghambat terwujudnya keinginan. Kendala itu antara lain adanya anggapan bahwa menulis karya tulis ilmiah sulit. Zubaidi, 2000 (dalam Sukidin, 2008) mengemukakan lima kendala yang dihadapi guru dalam melaksanakan kegiatan karya tulis, khususnya PTK: (1) lemahnya pemahaman konsep dan prinsip-prinsip PTK, (2) kurang adanya program dan anggaran dari pihak-pihak yang terkait untuk melaksanakan PTK bagi para guru, (3) belum membudayanya reflecting thinking melalui portfolio, (4) tidak adanya pembimbing penelitian di sekolah, dan (5) mentalitas suka pada kemapanan daripada mengikuti perkembangan (keluhan tidak memiliki waktu, menambah beban, lingkungan tidak mendukung, tidak ada dana, dsb.)


Penutup
      Menjadi guru sejati pada hakikatnya sama dengan menjalankan tugas guru secara utuh dan sebaik-baiknya. Dapat juga hal itu dianalogikan dengan berupaya menjadi ”embun penyejuk” sekaligus menjadi ”pelita dalam kegelapan”. Untuk menjadi embun, guru haruslah bangga dan mensyukuri profesinya, bersikap ramah pada siswa, penyabar, penuh perhatian, dan murah pujian. Untuk menjadi ”pelita dalam kegelapan”, seorang guru haruslah cerdas, kreatif dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran yang menyenangkan. Langkah selanjutnya, untuk menjadi guru profesional, seorang guru dituntut untuk mau dan mampu menulis. Luangkan waktu, belajarlah tanpa batas waktu, lawan kemalasan, dan pantang menyerah!
      Jadilah guru sejati dengan sikap yang mampu menyejukkan anak didik. Jadilah guru sejati yang mampu mengelola berbagai kelebihan dan kekurangan yang dimiliki anak didik dengan berbagai kreativitas dan inovasi dalam pembelajaran. Ingat, jika anak didik sukses meraih masa depan, itu adalah sebagian dari kesuksesan guru dalam mengajar. Sebaliknya, jika anak didik gagal dalam meraih cita-citanya, itu juga sebagian dari kegagalan guru dalam mengajar.


DAFTAR PUSTAKA

DePorter, Bobbi & Hernacki, Mike. (1999). Quantum Learning. Diterjemahkan oleh Alwiyah Abdurrahman, Bandung: Kaifa.
Hernowo. 2007. Menjadi Guru yang Mau dan Mampu Mengajar secara Kreatif. Bandung: LMC
http://www.psb-psma.org  diakses tanggal 25 Maret 2011.
Mendiknas. 2007. Permendiknas No 14 tahun 2007
Mendiknas. 2007. Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses
Muhammad Furqon Hidayatullah. 2009. Guru Sejati: Membangun Insan Berkarakter Kuat dan Cerdas. Surakarta: Yuma Pustaka.
Rustamaji. 2002. Guru yang Menggairahkan. Yogyakarta: Gama Media.
Sukidin dkk. 2008. Manajemen Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Insan Cendekia.
Zamroni. 2003. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: BIGRAF Publishing.


Baitul Disampaikan pada Baitul Arqom Guru Persyarikatan Muhammadiyah Kabupaten Sleman, 21 – 22 Des. 2012



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar