Pendahuluan
”... Engkau sebagai pelita dalam
kegelapan. Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan. Engkau patriot
pahlawan bangsa ... tanpa tanda jasa.”
Begitulah sepenggal pujian dalam lagu ”Hymne Guru” yang sering dilantunkan
oleh siswa pada acara perpisahan, pada peringatan Hardiknas, atau hari Guru.
Lagu bernada andante dengan lirik yang mengharukan dan membuat guru menjadi
”tersanjung” saat dikumandangkan sebenarnya memiliki dua mata pisau yang
berlainan. Di satu sisi, lagu itu dapat membuat guru berbangga hati dan terharu
karena guru didudukkan dalam posisi yang sangat berperan bagi siswa. Guru
adalah pelita dalam kegelapan, embun penyejuk dalam kehausan. Itulah guru,
menerangi dengan ilmunya sekaligus menyejukkan dengan perannya sebagai
pembimbing, pengayom, dan penolong siswa dalam menghadapi berbagai permasalahan
yang dihadapinya. Namun, di sisi lain lagu itu juga menuntut guru yang memiliki
kepekaan hati untuk mawas diri, merefleksi diri, dan merenungkan ”Sudahkah saya
seperti pelita sekaligus embun?”
Dua kiasan itu sebenarnya
dapat dimaknai bahwa seorang guru haruslah ”cerdas dan kreatif” serta ”berhati
emas”. Jika dikaitkan dengan tuntutan formal, dalam menjalankan tugasnya, guru
harus memiliki berbagai kompetensi. Seperti yang diamanatkan dalam Permendiknas
No 14 tahun 2007, ada 4 kompetensi yang harus dikuasai guru: kompetensi
pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Saya menerjemahkan, guru
sebagai ”pelita” terkait dengan penguasaan kompetensi pedagogik dan profesional.
Adapun guru sebagai ”embun” terkait dengan penguasaan kompetensi kepribadian
dan sosial. Untuk menjadi guru sejati, peran dan kompetensi tersebut haruslah
dikuasai secara utuh.
Bagaimanakah upaya menjadi
guru sejati? Inilah beberapa tips yang ditulis berdasarkan pengalaman empiris,
ditambah teori yang dikaji dari beberapa sumber. Semoga dapat menjadi bahan
diskusi sehingga dapat disempurnakan, lalu dapat diimplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari sebagai guru.
Bangga dan Bersyukur menjadi Guru
Hal pertama kali yang harus
ditumbuhkan dalam hati guru adalah rasa bangga menjadi guru. Banyak guru yang
”terpaksa” menjadi guru karena tuntutan orang tua yang kurang mampu atau karena
(dulu) tidak diterima di perguruan tinggi lain yang bukan keguruan. Adanya
cibiran bagi guru dengan menggambarkannya sebagai ”Oemar Bakri” yang ke
mana-mana mengendarai sepeda butut dengan gaji kecil, turut memberikan andil
dalam membuat guru menjadi rendah diri. Selain itu, banyak anak kecil yang
ketika ditanya, ”Apa cita-citamu?”, menjawab bukan menjadi guru, melainkan
dokter, arsitek, dan profesi lain. Itu menunjukkan bahwa profesi guru kurang
diminati.
Di sisi lain, sebenarnya
guru merupakan sosok yang disegani dan dihormati. Dia tidak hanya menyampaikan
materi yang diamanatkan kurikulum, tetapi juga menjadi suri teladan yang
menjadi panutan. Rustamaji (2002:7) mengatakan bahwa guru di beberapa tempat
dipanggil dengan ”Mas Guru”, sebutan untuk seseorang yang dianggap memiliki
banyak pengetahuan dan dapat menggunakan ilmu tersebut untuk kebaikan orang
lain. Sering pula dipanggil dengan ”Mas Mantri”, sebutan yang lebih sering
diberikan kepada petugas kesehatan desa yang dapat menyuntik untuk mengobati
orang lain.
Itulah guru, gambaran sosok serba bisa, bisa digugu dan
ditiru. Maka banggalah dan bersyukurlah menjadi guru. Dengan kebanggaan (bukan
kesombongan) seorang guru akan mantap dalam bekerja, percaya diri, dan suka
belajar untuk mengembangkan dirinya sebagai guru. Dengan bersyukur, banyak
kenikmatan yang akan diraih. Sebagaimana firman Allah dalam QS Ibrahim ayat 7:
لَشَدِيدٌ عَذَابِي إِنَّ كَفَرْتُمْ وَلَئِنْ لَأَزِيدَنَّكُمْ شَكَرْتُمْ لَئِنْ
"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat)
kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku
sangat pedih".
Rasa
syukur seorang guru dapat diwujudkan dengan sikap sabar, telaten, dan ikhlas.
Sebaliknya, tidak dapat dikatakan bersyukur guru banyak mengeluh dan tidak
sabar ketika menghadapi anak-anak yang ”agak kurang”, sering menunda pekerjaan,
sering terlambat, dan meninggalkan pekerjaan tanpa alasan. Muhammad Furqon
Hidayatullah menjelaskan bahwa perwujudan bersyukur sebagai pendidik adalah: (1) menerima
secara positif profesi guru, (2) tidak dhalim terhadap profesi guru, dan (3) mengembangkan
profesi guru.
Menyapa Para Siswa
Salah satu kompetensi yang harus dikembangkan guru adalah kompetensi
sosial. Inti dari kompetensi sosial adalah mampu berkomunikasi. Komunikasi
utama yang pertama harus dijalin adalah dengan siswa. Bersikap ramah, penyabar,
penuh perhatian, murah pujian adalah beberapa contoh sifat yang mendukung
komunikasi secara efektif dengan para siswa.
Ramah dan sabar adalah sifat guru yang didambakan para
siswa. Guru tidak perlu merasa harus disapa terlebih dahulu. Salam dan sapalah
mereka ketika kita memang datang lebih akhir. Jawablah salam mereka juga dengan
ramah. Hadapi siswa dengan sabar. Jangan sampai guru melontarkan kata-kata yang
menyakiti siswa (dalam istilah psikologi disebut sebagai kekerasan psikis). Apalagi
bertindak menyakiti badan dengan menjewer, mencubit, atau memukul, atau
melakukan kekerasan fisik lainnya.
Rasa penuh perhatian
terhadap siswa terwujud dari bentuk komunikasi sehari-hari. Kenali dan hafalkan
nama-nama mereka sampai nama-nama panggilannya. Guru dapat menanyakan dan
menuliskan nama panggilan mereka di belakang daftar presensi ketika pertama
kali mengajar. Siswa atau siapa pun yang dipanggil dengan nama panggilannya,
nama akrabnya, akan merasa lebih dekat. Syukur-syukur kenali latar belakang
keluarganya, alamat rumahnya, dan hobi atau kesukaannya.
Memberi pujian merupakan
cara yang sangat murah untuk menghargai pada siswa. Walaupun tanpa modal, masih
banyak guru yang ’pelit’ pujian. Pada umumnya, guru-guru di PAUD atau taman
kanak-kanak lebih sering memberikan pujian pada siswanya. Mereka sangat sering
mengeluarkan kalimat ”Iya, bagus.”, ”Pinter.”, atau ”Tepuk tangan,
anak-anak...”. Dalam sehari mungkin bisa ratusan kali kalimat-kalimat
itu dilontarkan. Di sekolah dasar, pujian itu sudah berkurang. Di SMP lalu SMA
pujian semakin berkurang. Ada guru yang beranggapan bahwa pujian hanya pantas
diberikan kepada anak kecil, atau beranggapan bahwa pujian bersifat
kekanak-kanakan. Padahal sebenarnya, orang dewasa, bahkan orang tua pun
memerlukan pujian untuk membangun motivasi diri.
Jadilah Guru Kreatif
Sebelum membantu siswa untuk
menjadi pribadi yang kreatif, jadilah guru yang kreatif terlebih dahulu.
Mengapa guru harus kreatif? Hernowo (2007:7) menulis:
Apabila seorang guru
tidak kreatif, kehidupan itu akan ”mati” - tidak ada lagi yang baru. Bayangkan
jika kehidupan yang mati itu menular ke kehidupan yang lain yang mengglobal?
Guru harus kreatif karena guru yang kreatif akan menjadikan kehidupan itu
sangat kaya dan bervariasi. Guru yang tidak kreatif akan menjadikan kehidupan
ini membosankan, monoton, dan tidak bermakna.
Dalam ungkapan Hernowo tersirat makna bahwa guru yang
kreatif akan membangkitkan kehidupan atau secara lebih khusus iklim
pembelajaran di kelas yang kondusif. Sebaliknya, jika kelas menjadi mati, siswa
menjadi bosan, itu adalah karena gurunya kurang kreatif. Guru kreatif akan
selalu mengubah-ubah ”penampilannya” di kelas. Jika hari ini, jam ini, materi
ini, dia menggunakan teknik cooperative learning misalnya, dia akan
menggunakan teknik lain pada hari lain dengan materi lain. Guru kreatif bukan
guru biasa yang tiap masuk kelas hanya membawa buku pelajaran, buku kerja guru,
dan seperangkat alat tulis. Dia akan memanfaatkan berbagai media, bahkan
barang-barang bekas, seperti tali rafia, kardus, atau lainnya, apa pun
pelajarannya. Lihatlah ekspresi siswa ketika guru masuk kelas dengan ”tampilan
dan benda” yang berbeda dengan biasanya. Pasti semua mata akan tertuju kepada
sang guru layaknya menonton artis panggung yang
menjadi idola.
Guru kreatif akan menggunakan metode dan model
pembelajaran yang sesuai. Dalam Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar
Proses, dikemukakan bahwa metode pembelajaran digunakan oleh guru untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mencapai
kompetensi dasar atau seperangkat indikator yang telah ditetapkan. Pemilihan
metode pembelajaran disesuaikan dengan situasi dan kondisi peserta didik serta
karakteristik dari setiap indikator dan kompetensi yang hendak dicapai pada setiap
mata pelajaran.
Adapun model pembelajaran adalah bentuk pembelajaran yang
menggambarkan kegiatan dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh
guru. (http://www.psb- psma.org). Model pembelajaran juga dapat diartikan
sebagai rencana yang memperlihatkan pola pembelajaran tertentu (terlihat
kegiatan guru-siswa), dan sumber belajar yang digunakan kondisi belajar atau
sistem lingkungan yang menyebabkan terjadinya belajar pada peserta didik. Dalam
model pembelajaran terdapat strategi pencapaian kompetensi peserta didik dengan
pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran tertentu. Guru dapat menggunakan
model pembelajaran ciptaannya sendiri atau menerapkan model pembelajaran yang
sudah ada teorinya. Berbagai model pembelajaran misalnya: jigsaw (model
tim ahli), problem based instruction (pembelajaran berdasarkan masalah),
mind mapping, make - a match (mencari pasangan), role playing,
tebak kata.
Guru adalah kreator proses pembelajaran (Zamroni, 2003:
74). Artinya, akan menjadi pertunjukan apa pun sebuah proses
pembelajaran di kelas, tergantung pada guru. Guru kreatif akan menciptakan
suasana belajar yang menyenangkan. Bobbi DePorter dan Mike Hernacki (1999:24)
mengemukakan teori Quantum Learning. Mulanya, quantum learning berakar
dari upaya Georgi Lozanov yang bereksperimen tentang ”suggestology”.
Prinsipnya, sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar.
Berbagai teknik dapat digunakan untuk memberikan sugesti positif seperti
mendudukkan siswa secara nyaman, pemberian penghargaan, atau pemunculan suasana
kegembiraan.
Dalam menciptakan pembelajaran yang menyenangkan, guru
juga dapat memanfaatkan berbagai potensi yang dimilikinya dan dimiliki sekolah.
Guru yang memiliki kelebihan dalam bercerita secara menarik misalnya, dapat
menggunakannya untuk memotivasi siswa atau membantu pencapaian kompetensi,
dengan cerita-cerita yang relevan tentunya. Manfaatkan juga fasilitas yang
dimiliki sekolah, seperti fasilitas TIK, alat peraga, dan sebagainya.
Guru kreatif juga peduli dengan hal-hal yang disukai
siswa. Dia peka terhadap perubahan yang dialami siswa, juga mengetahui hal-hal
yang sedang menjadi ”tren” bagi siswa. Jika ingin menjadi guru yang disukai
siswa, jangan paksakan siswa untuk memasuki dunia guru, tetapi masuklah kita ke
dunia mereka. Pada era global seperti sekarang, siswa sangat akrab dengan
berbagai fasilitas teknologi informasi dan komunikasi yang canggih, seperti hand
phone dan internet dengan berbagai fasilitas yang dapat diakses.
Bagaimanakah sikap guru sebaiknya? Guru tidak perlu ketakutan dengan
kekhawatiran-kekhawatiran yang belum tentu terjadi. Jika guru mampu mengarahkan, mengelola, atau
memanfaatkannya dengan baik, jadilah fasilitas tersebut sebagai media belajar
yang menyenangkan. Penulis pernah mencoba memanfaatkan HP, face book, dan e-mail
untuk pembelajaran. Sebagai contoh dalam
pembelajaran berbalas pantun, guru memberi tugas siswa untuk menulis dan
mengirimkan tugas menulis pantun lebaran. Hasilnya sungguh menggembirakan.
Siswa tidak hanya memenuhi tugas dan perintah guru demi nilai, tetapi mereka
menikmati tugas itu sebagai alat bersilaturahmi, bercanda, sekaligus berkreasi.
Berikut ini salah satu pantun yang dikirim melalui SMS.
Ekananda Asmara, XII IPA (HP 085238871444):
Ke Lamongan bareng Nanda
Naik mobil berbahan bakar bensin
Ini pantun lebaran, Bunda...
Mohon maaf lahir dan batin
Balasan dari guru:
Dari Lamongan naik kuda
Bertopi biru berkalung sorban
Terima kasih Ekananda
Pantun kamu sungguh menawan
Tugas menulis pantun yang sebenarnya ditargetkan hanya satu
bait, ternyata dibalas lagi oleh siswa setelah menerima balasan SMS dari guru.
Naik pesawat melewati awan
Dari kaca terlihat hamparan
Tidaklah terlalu menawan
Serangkaian kata keluar dari pikiran
Menulislah
Langkah selanjutnya setelah
menjadi guru yang kreatif adalah menulis. Menulis bagi guru pada hakikatnya
adalah mendokumentasikan berbagai peristiwa pembelajaran yang diperankannya.
Sangat disayangkan, seorang guru yang telah melaksanakan pembelajaran dengan
kreatif dan inovatif, tetapi tidak mendokumentasikannya dalam tulisan. Dengan
menulis guru akan memperoleh manfaat dan keuntungan ganda, yakni: (1) Segala
hal yang telah dirancang dan dilaksanakan dapat diabadikan sehingga guru
memiliki bukti nyata dari kegiatan pengembangan profesinya, (2) Guru dapat
berbagi pengalaman dengan teman sejawat, baik di lingkungan sekolahnya maupun
di sekolah lainnya, (3) Dengan tulisan, guru dapat menyumbangkan ilmu kepada
siapa pun yang nantinya akan memanfaatkannya secara teoretis maupun praktis,
(4) Guru dapat memperoleh kredit point dalam proses sertifikasi, imphasing
sertifikasi, atau kenaikan pangkat bagi yang berstatus PNS, (5) Jika tulisan
dimuat di media massa atau dilombakan dan mendapat juara, akan menambah koin
yang insya Allah dapat turut mengangkat harkat dan martabat guru.
Betapa banyaknya manfaat yang dapat diraih jika kita mau
dan mampu menulis. Namun, dalam kenyataan guru memang sering berbenturan dengan
berbagai kendala yang cukup serius sehingga menghambat terwujudnya keinginan.
Kendala itu antara lain adanya anggapan bahwa menulis karya tulis ilmiah sulit.
Zubaidi, 2000 (dalam Sukidin, 2008) mengemukakan lima kendala yang dihadapi
guru dalam melaksanakan kegiatan karya tulis, khususnya PTK: (1) lemahnya
pemahaman konsep dan prinsip-prinsip PTK, (2) kurang adanya program dan
anggaran dari pihak-pihak yang terkait untuk melaksanakan PTK bagi para guru,
(3) belum membudayanya reflecting thinking melalui portfolio, (4) tidak
adanya pembimbing penelitian di sekolah, dan (5) mentalitas suka pada kemapanan
daripada mengikuti perkembangan (keluhan tidak memiliki waktu, menambah beban,
lingkungan tidak mendukung, tidak ada dana, dsb.)
Penutup
Menjadi
guru sejati pada hakikatnya sama dengan menjalankan tugas guru secara utuh dan
sebaik-baiknya. Dapat juga hal itu dianalogikan dengan berupaya menjadi
”embun penyejuk” sekaligus menjadi ”pelita dalam kegelapan”. Untuk menjadi
embun, guru haruslah bangga dan mensyukuri profesinya, bersikap ramah pada
siswa, penyabar, penuh perhatian, dan murah pujian. Untuk menjadi ”pelita dalam
kegelapan”, seorang guru haruslah cerdas, kreatif dalam merancang dan
melaksanakan pembelajaran yang menyenangkan. Langkah selanjutnya, untuk menjadi
guru profesional, seorang guru dituntut untuk mau dan mampu menulis. Luangkan
waktu, belajarlah tanpa batas waktu, lawan kemalasan, dan pantang menyerah!
Jadilah guru
sejati dengan sikap yang mampu menyejukkan anak didik. Jadilah guru sejati yang
mampu mengelola berbagai kelebihan dan kekurangan yang dimiliki anak didik
dengan berbagai kreativitas dan inovasi dalam pembelajaran. Ingat, jika anak
didik sukses meraih masa depan, itu adalah sebagian dari kesuksesan guru dalam
mengajar. Sebaliknya, jika anak didik gagal
dalam meraih cita-citanya, itu juga sebagian dari kegagalan guru dalam mengajar.
DAFTAR PUSTAKA
DePorter, Bobbi & Hernacki, Mike. (1999). Quantum Learning. Diterjemahkan
oleh Alwiyah Abdurrahman, Bandung: Kaifa.
Hernowo. 2007. Menjadi Guru yang Mau dan Mampu Mengajar secara Kreatif.
Bandung: LMC
Mendiknas. 2007. Permendiknas No 14 tahun 2007
Mendiknas. 2007. Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses
Muhammad Furqon Hidayatullah. 2009. Guru Sejati: Membangun Insan Berkarakter
Kuat dan Cerdas. Surakarta: Yuma Pustaka.
Rustamaji. 2002. Guru yang Menggairahkan. Yogyakarta: Gama Media.
Sukidin dkk. 2008. Manajemen Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta:
Insan Cendekia.
Zamroni. 2003. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: BIGRAF
Publishing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar