Rabu, 03 April 2013

SALAH PAHAM ADALAH SEBUAH KEINDAHAN

Dengan semangatku yang baru, aku berangkat bekerja sebagai pengawas baru. Sekitar 30 km aku menyusuri jalan ke arah timur menuju ke sebuah sekolah sasaran. Sinar matahari pagi menantang mataku sehingga membuatku silau. Aku memiliki 11 sekolah binaan, SMP dan SMA di wilayah kecamatan Prambanan. Setelah mencari-cari lokasi dengan melihat papan nama dan petunjuk yang ada di jalan, akhirnya aku sampai ke sekolah yang kutuju. 

Kumasuki gerbang sekolah yang masih asing, kemudian kutuju arah yang menurutku akan menuju ke kantor Kepala Sekolah. Sampai di lobi, seorang laki-laki menyapaku dengan bahasa Jawa, “Mangga Bu...”. Aku membalasnya dengan bahasa Jawa pula, “Nggih...” sambil mengangguk dan tersenyum. Belum sampai aku bertanya dan menjelaskan maksud kedatanganku, tiba-tiba guru tadi mengajakku ke sebuah ruang. Kuikuti langkahnya, lalu dia berhenti di depan loket, sepertinya loket petugas bendahara sekolah. Benar juga, “Ini Bu, bendahara sekolah, mau membayar kan Bu...”. Aku terbengong beberapa saat, lalu kataku berupaya mengatasi sebuah kesalahpahaman, “Maaf Pak, saya mau menemui Bapak Kepala Sekolah...” “O, ya... kalau begitu Ibu duduk dulu...” kata laki-laki itu sambil mempersilakan aku duduk di kursi depan meja piket. Aku menunggu. Tak lama kemudian, laki-laki tadi berjalan beriringan dengan seorang laki-laki separuh baya dengan seragam yang sama, “O, berarti ini kepala sekolahnya,” kesimpulanku dalam hati. “Mangga Bu, wonten menapa nggih?” tanyanya ramah. Saya menyambutnya dengan berdiri kemudian menjabat tangannya dan memperkenalkan diri. “Saya pengawas dari Dinas Dikpora Sleman, Pak...” “O... nyuwun pangapunten, mangga Bu...” katanya sambil mengajakku berpindah ke ruang tamu. Sebelum beranjak, aku menyempatkan mengangguk pada laki-laki yang menyambutku pertama kali tadi. Dia membalas dengan anggukan dan senyuman. Setelah aku berkenalan lebih banyak dan menyampaikan bahwa aku ditugasi Kepala Dinas Dikpora untuk menjadi pengawas pembina di sekolah itu, aku dibawa ke ruang guru untuk diperkenalkan pada guru-guru lainnya. Semua berjalan lancar seperti yang kubayangkan. Sampai akhirnya kuketahui bahwa laki-laki yang sedari awal menyambutku adalah seorang guru bernama Pak Roni (bukan nama sebenarnya). 

Satu-satunya yang tidak kubayangkan adalah ketika aku berpamitan pulang, kulihat Pak Roni berjalan mengejarku ke arah pintu keluar. “Bu..., maaf ya...Bu...” katanya sambil membungkuk-bungkuk. “Saya tadi lancang... tidak tahu kalau Ibu pengawas... Maaf ya, Bu... betul saya minta maaf...” lanjutnya. “O... tidak apa-apa Pak...” jawabku berusaha membuatnya tidak merasa bersalah. “Ya... tentu saja tidak tahu. Bagaimana mau tahu kalau tidak bertanya terlebih dahulu...” kataku dalam hati. 

Ada satu renungan yang kudapatkan hari ini. Ternyata, guru juga harus belajar menjadi seorang resepsionis yang baik. Dulu ketika kuliah di perguruan tinggi ilmu keguruan, kurasa aku juga tidak pernah mendapatkan ilmu bagaimana menerima tamu. Ternyata, ketika seorang guru diberi tugas tambahan selain mengajar, seperti menjadi guru piket, ilmu komunikasi sebagai seorang resepsionis yang baik juga harus dikuasai. Seandainya tadi dia gunakan pertanyaan pertama “Selamat pagi, Bu... ada yang bisa saya bantu?”, pastilah dia tidak harus akhirnya tergopoh-gopoh minta maaf. Memang kita tidak boleh menafsirkan seseorang sebagai siapa dan apa keperluannya. Yang paling pas dilakukan terhadap tamu yang datang di sekolah adalah menanyakan dari mana dan ada keperluan apa. Bukan juga “siapa”, karena pertanyaan dengan kata tanya “siapa” selama ini memang dianggap kurang etis’ 

Besoknya di kantor aku bercerita tentang kejadian yang kualami. Ternyata, banyak pengalaman serupa yang dialami para pengawas yang senior. Bahkan ada yang dikira sales yang akan menawarkan barang dagangan sehingga ditolak serta merta. “Tidak usah sakit hati.” Itu adalah nasihat yang menurutku paling bijaksana dari pengawas senior. “Memang itu bagian dari seninya seorang pengawas,” lanjutnya. Iya juga. Untuk apa sakit hati. Yang merasa malu adalah mereka yang terlanjur salah paham. Mungkin itu menjadi pelajaran bagi mereka untuk tidak lagi berbuat kesalahan yang sama. Mungkin juga kejadian itu membuat mereka tidak bisa tidur karena malu atau menyesal telah salah paham. 

Akhirnya seorang rekan baruku mengusulkan untuk membuat name tag atau kartu tanda pengenal yang mudah dilihat bahwa kami pengawas. “Tidak perlu...” kata para seniorku kompak. “Biarlah, salah paham juga tidak apa-apa... itu hanya terjadi pada awal-awal ketugasan seorang pengawas. Aku setuju dengan seniorku, memang tidak perlu. Aku lebih mengambil sisi hikmahnya, “Ini adalah bagian dari seni pekerjaan seorang pengawas”. Di mana pun, yang namanya seni pastilah menyenangkan karena di dalamnya terkandung keindahan untuk dinikmati. Dan aku akan menikmati banyak keindahan dalam tugasku yang baru. Hore... 

(Sleman, Juli 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar